Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

TRADHISI SURONAN DI MASYARAKAT SAMIN BLORA KAJIAN ETNOLINGUISTIK

KAJIAN ETNOLINGUISTIK
Oleh : Evi Wijayanti (2601413061)
       1.      PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam berlimpah, bisa dilihat dari suku-suku, ras, dan agama yang begitu beragam. Dalam keanekaragaman yang begitu banyak Indonesia memang dikenal karena orang-orangnya yang ramah dan masyarakat yang saling menghargai satu sama lain mesti banyak sekali perbedaan antar masyarakatnya.
Salah satu daerah yang banyak keanekaragamannya tepatnya di Jawa Tengah yaitu di Kabupaten Blora yang berjarak sekitar 127 km sebelah timur Semarang. Dan letaknya berada di bagian timur Jawa Tengah. Separuh dari wilayah Kabupaten Blora merupakan kawasan hutan, terutama di bagian utara, timur, dan selatan. Ada yang menarik dengan  Kabupaten ini yaitu  dengan masyarakat saminnya.
Masyarakat samin dikenal karena kontra dengan pemerintah, mereka tidak mengikuti aturan pemerintah. Mereka menganut ajaran mereka sendiri, tetapi setelah perkembangan jaman samin dan pemerintah sudah bersahabat. Di daerah Klopodhuwur, Banjarejo, Samin di sana lebih dikenal dengan sedulur sikep yang mempunyai suatu tradisi yang setiap tahun dilakukan yaitu tradisi Malam Suronan di suku Samin Blora. Tradisi ini dilakukan untuk menghormati para pendahulu-pendahulu yang telah tiada.
Untuk itu penulis di sini sangat tertarik dengan tradisi suronan yang dilakukan pada masyarakat samin di desa Klopodhuwur sehingga penulis rmencoba menganalisis istilah-istilah yang ada dalam rangkaian tradisi suronan tersebut.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut: Apa leksikon dan makna yang digunakan dalam tradisi malam suronan di suku samin Blora? Dan Bagaimana pola pikir masyarakat samin terhadap tradisi suronan masyarakat samin?
Sesuai dengan permasalahan yang ada, tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah Mendeskripsikan leksikon dan makna yang digunakan dalam tradisi malam suronan di suku samin Blora dan Memaparkan pola pikir masyarakat samin terhadap tradisi suronan di masyarakat samin.
Dalam penelitian ini terdapat konsep-konsep teoretis yang berkaitan dengan penelitian yaitu landasan atau dasar yang relevan dengan pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Landasan teori digunakan sebagai kerangka pikir untuk mengkaji permasalahan dan bekal untuk menganalisis objek kajian.
Penelitian mengenai tradisi suronan ini pernah dilakukan sebelumnya. Adapun sebuah penelitian yang relevan adalah menggunakan skripsi Nanda Fauza dari Universitas Sebelas Maret tentang Istilah-Istilah Sesaji Upacara Tradisional Jamasan Pusaka Di Waduk Gajah Mungkur Wonogiri (Suatu Kajian Etnolinguistik), dalam penelitian di skripsi Nanda Fauza ini hanya membahas tentang makna leksikon dan makna kulturalnya sedangkan pada penelitian kami ini disamping makna leksikon di sini juga membahas dengan pola pikir dari masyarakat samin mengenai tradisi suronan di Masyarakat Samin.
Dalam Kamus Antropologi (1985: 125) dijelaskan pengertian tradisi adalah kebiasaan yang bersifat magis religius dari kehidupan suatu penduduk asli yang meliputi nilai-nilai budaya, norma-norma hukum kemudian menjadi suatu system atau peraturan tradisional.
Istilah adalah perkataan yang khusus mengandung arti yang tertentu di lingkungan suatu ilmu pengetahuan, pekerjaan, atau kesenian (Poerwadarminta, 1976: 388). Kata istilah tersebut diangkat dari kata biasa, kata sehari-hari dalam arti bentuknya dipungut dari bahasa biasa, tetapi isinya tidak. Istilah adalah kata yang menunjukkan hal-hal yang bersifat abstrak, yaitu hal-hal yang yang ditemukan oleh para ilmuwan atau ahli pikir dalam rangka penelitian objek sasaran ilmiahnya masing-masing (Sudaryanto, 1986: 89). Sehingga dimungkinkan untuk dirumuskan gagasan tersebut dalam bentuk definisi. Bahwa sesuatu kata itu sudah atau sedang manjadi istilah justru terbukti dari definisi yang disertakan, makin tegas definisinya semakin tinggi pula tingkat atau kadar statusnya sebagai istilah. Istilah adalah kata atau frase yang diberi makna khusus untuk suatu konsep dalam bidang ilmu dan harus dibandingkan dengan makna di dalam kosakata umum yang lebih luas dan bebas (Suwardi Notosudirjo, 199: 30). Menurut Harimurti Kridalaksana (1993: 86) istilah (term) adalah kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang tertentu. Dalam hal ini sebuah kata akan banyak mengungkapkan istilah dalam bagian-bagian yang lebih kecil kaitannya dengan istilah.
Dalam kaitannya dengan istilah maka suatu kalimat akan mempunyai makna yang jelas, pasti dalam sebuah kata walaupun tanpa konteks kalimat sekalipun. Sehingga dapat dikatakan bahwa istilah tersebut bebas konteks. Dalam hal ini perlu diingat bahwa sebuah istilah hanya dapat digunakan dalam bidang pendidikan atau kegiatan tertentu. Dalam perkembangan bahasa memang ada sejumlah istilah yang sering digunakan lalu menjadi sebuah kosakata. Secara umum pada saat sekarang ini arti sebuah istilah tidak hanya digunakan dalam dunia pendidikan saja melainkan sudah banyak digunakan secara umum.
Makna merupakan penghubung antara bahasa dengan dunia luar sesuai dengan kesepakatan bersama antar para pemakainya sehingga dapat saling mengerti. Makna mempunyai tiga tingkatan, yaitu : tingkatan pertama, makna menjadi isi suatu bentuk bahasa, tingkatan kedua, makna menjadi isi suatu bahasa, tingkatan ketiga, makna menjadi isi komunikasi dalam informasi.
Kata adalah satuan terkecil dalam tuturan (Verhaar, 2001: 97). Kata juga didefinisikan sebagai persatuan makna tertentu dengan susunan bunyi tertentu dan dapat dipakai menurut tata bahasa dan dengan cara tertentu.
Menurut Harimurti Kridalaksana makna adalah : (1) maksud pembicara, (2) pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau perilaku manusia, (3) hubungan, dalam arti kesepadanan/ketidaksepadanan antara bahasa dengan alam di luar bahasa/antara ujaran dan semua hal yang ditunjukannya, (4) cara menggunakan lambang-lambang bahasa, sedangkan makna leksikal adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dll; makna leksikal ini dipunyai unsur-unsur bahasa yang lepas dari konteks.
Dalam penelitian ini pembahasan makna meliputi makna leksikal dan makna kultural dari istilah tradisi malam suronan di masyarakat samin sedulur sikep. Makna leksikal adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dll (Fatimah, 1993: 13). Makna leksikal adalah makna kata yang berdiri sendiri, baik dalam bentuk turunan atau bentuk dasar dan terlepas dari konteks atau makna. Sedangkan makna gramatikal adalah makna yang menyangkut hubungan intra bahasa, atau makna yang muncul sebagai akibat fungsinya sebuah kata di dalam kalimat (Fatimah, 1993: 13). Makna merupakan sarana bagi bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama sehingga dapat saling mengerti.
Dalam mempelajari tentang ilmu makna, kita harus mengerti pula tingkatan keberadaan, yakni (1) makna menjadi isi dari bentuk bahasa, (2) makna menjadi isi suatu kebahasaan, dan (3) makna menjadi isi komunikasi dalam informasi. Sehingga dalam mempelajari makna pada hakikatnya juga mempelajari setiap pemakai bahasa di masyarakat untuk dapat saling mengerti. Sehingga dari makna leksikal, peneliti dapat mengetahui arti dari istilah-istilah tradisi malam suronan masyarakat samin.
Makna kultural adalah makna bahasa yang berkembang di masyarakat. Sehingga dari makna kultural peneliti dapat mengetahui arti dari istilah tradisi malam suronan masyarakat Samin dilihat dari segi kebudayaan. Dalam masyarakat Samin makna kultural dijadikan sebuah acuan dalam bersikap dan bertingkah laku serta menjadi nilai bagaimana seorang individu berprilaku dalam kelompoknya. Dalam memahami sebuah budaya tentu akan menafsirkan tanda budaya tersebut, akan tetapi tanda tidak mempunyai konsep tertentu, dalam hal ini simbol akan menjadi petunjuk untuk menghasilkan makna melalui interpretasi. Simbol akan menjadi bermakna apabila isi kode diuraikan menurut konvensi dan aturan budaya yang ada cecara sadar ataupun tidak sadar. Simbol dapat bermakna apabila penafsir mampu menjelaskan sebuah tanda dengan menghubungkan beberapa aspek yang relevan. Makna kultural merupakan suatu makna yang berkaitan erat dengan masalah budaya. Makna kultural muncul dalam masyarakat karena adanya simbol-simbol yang melambangkan keinginan masyarakat untuk mendapatkan kelancaran dan keselamatan dalam menjalani sebuah kehidupan bermasyarakat.
Berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian, penulis menggunakan bentuk istilah berupa monomorfemis dan bentuk polimorfemis :
            a.       Monomorfemis
Menurut Harimurti Kridalaksana (1993: 148) monomorfemis (monomorphemic) terjadi dari satu kata atau morfem, morfem (morphemic) merupakan satu bahasa terkecil yang maknanya secara relatif stabil dan yang tidak dibagi atas bagian yang lebih kecil misalnya (ter-) (di-). Penggolongan kata menjadi jenis monomorfemis dan polimorfemis adalah golongan yang berdasarkan atas jumlah morfem yang menyusun kata. Menurut Djoko Kentjono (1982: 44-45) satu atau lebih morfem akan menyusun sebuah kata. Kata dalam hal ini adalah satuan gramatikal terkecil. Dalam monomorfemis terdapat ciri apabila sebuah kata dapat berdiri disebut kata monomorfemis dan makna serta berkategori jelas. Kata adalah satuan terkecil dalam tuturan ( J.W.M Verhaar, 2001: 97). Kata di definisikan sebagai satuan makna tertentu dengan susunan bunyi tertentu dan dapat dipakai menurut tata bahasa dengan cara tertentu.
            b.      Polimorfemis
Kata polimorfemis dapat dilihat dari proses morfologis yang berupa rangkaian morfem. Bentuk polimorfemis dapat dibagi yang meliputi : Pengimbuhan / afiksasi ( penambahan afiks), Pemajemukan / komposisi, Frasa, dan Kata majemuk
Penelitian mengenai makna istilah-istilah tradisi malam suronan di masyarakat samin kabupaten Blora menggunakan kajian Etnolinguistik. Etnolinguistik adalah cabang dari linguistik yang menyelidiki tentang hubungan antara bahasa dan masyarakat yang belum mengenal tulisan; cabang linguistik antropologi yang menyelidiki hubungan bahasa dan sikap bahasawan terhadap bahasa; salah satu aspek etnolinguistik yang sangat menonjol adalah masalah relativitas bahasa (Kridalaksana, 1982: 42).
Istilah etnolinguistik berasal dari perpaduan antara etnologi dengan linguistik, sehingga kajian etnolinguistik sangat penting untuk mengetahui hubungan kebudayaan dengan masalah bahasa, serta bagaimana kebudayaan yang terbentuk tersebut secara terus-menerus mengalami perubahan. Kelahiran etnolinguistik sangat erat berkaitan dengan hipotesis Sapir-Whorf. Hipotesis Sapir-Whorf disebut dengan relativisme bahasa (language relativism) dari pikiran Boas (Sampson dalam laporan penelitian D.Edi Subroto.dkk, 2003: 6). Hipotesis tersebut menyatakan bahwa bahasa manusia membentuk atau mempengaruhi persepsi manusia akan realitas lingkungannya atau bahasa manusia mempengaruhi lingkungan dalam memproses dan membuat kategori-kategori realitas di sekitarnya (Sampson dalam laporan penelitian D.Edi Subroto.dkk, 2003: 6).
Penelitian mengenai makna istilah tradisi malam suronana di masyarakat samin menggunakan kajian etolinguistik. Etnolinguistik adalah cabang dari ilmu linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dengan sikap dan pandangan masyarakat (Shri Ahimsa Putra, 1997: 4). Istilah etnolinguistik berasal dari kata ‘etnologi’ dan ‘linguistik’, yang lahir karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh para ahli etnologi (kini : antropologi budaya) dengan pendekatan linguistik dalam studi semacam ini sebenarnya terjadi timbal balik yang menguntungkan antara disiplin etnologi, yakni (a) kajian linguistik yang memberikan sumbangan bagi etnologi dan (b) kajian etnologi yang memberikan sumbangan bagi linguistik (Shri Ahimsa Putra, 1997: 3).
Ketika tradisi penelitian mulai berkembang dan semakin pesat, minat yang ditumbuhkan oleh Boas untuk meneliti dengan seksama sejarah suku-suku bangsa dan aneka ragam jenis bahasa mereka, kemudian oleh beberapa orang muridnya termasuk di dalamnya Edward Sapir mengembangkan tradisi penelitian tersebut. Sebagai salah satu perintis berdiriya studi Etnolinguistik dalam Antropologi, Sapir mulai membuka persoalan baru dalam studi etnolinguistik yaitu mengenai hubungan antara bahasa dan kebudayaan. Pandangan tersebut mulai dikembangkan oleh salah satu muridnya yaitu Benjamin Lee Whorf (Shri Ahimsa Putra, 1997: 1-2). Sapir sendiri adalah seorang ahli dalam bidang antropologi yang menaruh minat besar pada masalah-masalah kebudayaan.
Dari sinilah awal mula studi perbandingan bahasa melahirkan barbagai macam pandangan Sapir tentang hubungan antara bahasa dengan kebudayaan. Pandangan-pandangan inilah yang terutama mengenai bahasa dan cara pandang manusia, yang dikembangan lebih lanjut oleh muridnya yang berpendapat bahwa berbagai macam peristiwa sebenarnya sangatlah dipengaruhi oleh bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, walaupun istilah etnolinguistik dapat dikatakan tidak lagi populer, namun tetap dapat digunakan, dan masih lebih menguntungkan menggunakan istilah etnolinguistik dari pada istilah baru yang sebenarnya sudah lebih spesifik (Shri Ahimsa Putra, 1997: 2-3).
Harimurti Kridalaksana (1982: 42) mengemukakan bahwa etnolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan bidang ini juga disebut linguistik antropologi dan cabang ilmu linguistik antropologi yang menyelidiki hubungan bahasa dan sikap bahasawan terhadap bahasa, salah satu aspek etnolinguistik yang sangat menonjol ialah masalah relatifitas bahasa. Sedangkan relatifitas bahasa menurut Harimurti Kridalaksana (1982: 145) adalah salah satu pandangan bahwa bahasa seseorang menentukan pandangan dunianya melalui kategori gramatikal dan klarifikasi semantik yang ada dalam bahasa itu dan yang dikreasi bersama kebudayaannya.
Dalam hal semacam ini sebenarnya ada suatu timbal-balik antara disiplin linguistik dengan disiplin etnologi yang sama-sama saling memberi sumbangan bagi keduanya.dengan adanya pengabungan pendekaan, maka kajian etnolinguistik dapat dibagi menjadi dua macam yaitu kajian linguistik yang memberikan sumbangan bagi etnologi dan sebaliknya kajian etnologi member sumbangan terhadap linguistik.
Ajaran Samin (disebut juga Pergerakan Samin atau Saminisme) adalah salah satu suku yang ada di Indonesia. Masyarakat ini adalah keturunan para pengikut Samin Surosentiko yang mengajarkan sedulur sikep, di mana mereka mengobarkan semangat perlawanan terhadap Belanda dalam bentuk lain di luar kekerasan. Bentuk yang dilakukan adalah menolak membayar pajak, menolak segala peraturan yang dibuat pemerintah kolonial. Masyarakat ini acap memusingkan pemerintah Belanda maupun penjajahan Jepang karena sikap itu, sikap yang hingga sekarang dianggap menjengkelkan oleh kelompok di luarnya.
Masyarakat Samin sendiri juga mengisolasi diri hingga baru pada tahun '70-an, mereka baru tahu Indonesia telah merdeka. Kelompok Samin ini tersebar sampai Jawa Tengah, namun konsentrasi terbesarnya berada di kawasan Blora, Jawa Tengah dan BojonegoroJawa Timur yang masing-masing bermukim di perbatasan kedua wilayah. Jumlah mereka tidak banyak dan tinggal di kawasan pegunungan Kendeng di perbatasan dua provinsi. Kelompok Samin lebih suka disebut wong sikep, karena kata samin bagi mereka mengandung makna negatif. Orang luar Samin sering menganggap mereka sebagai kelompok yang lugu, tidak suka mencuri, menolak membayar pajak, dan acap menjadi bahan lelucon terutama di kalangan masyarakat Bojonegoro. Pokok ajaran Samin Surosentiko, yang nama aslinya Raden Kohar, kelahiran Desa Ploso Kedhiren, Randublatung, tahun 1859, dan meninggal saat diasingkan ke Padang, 1914.

         2.      METODE PENELITIAN
Metode Penelitian merupakan cara, alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam melakukan penelitian. Metode adalah cara untuk mengamati atau menganalisis suatu fenomena, sedangkan metode penelitian mencakup kesatuan dan serangkaian proses penentuan kerangka pikiran, perumusan masalah, penentuan sampel data, teknik pengumpulan data, dan analisis data (Edi Subroto, 1992:31)
Penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan masyarakat tersebut melalui bahasanya serta peristilahan (Fatimah Djajasudarma, 1993:10). Dalam Penelitian ini data yang terkumpul berbentuk kata-kata, analisis dan hasil laporan analisis menggunakan kata-kata pula.
Lokasi penelitian adalah tempat atau objek penelitian. Lokasi penelitian ini ada di Kabupaten Blora, yaitu di Dukuh Karangpace Desa Klopodhuwur, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora. Peneliti mengambil lokasi ini karena tempat tinggal peneliti dekat dengan obyek penelitian dan masyarakat samin merupakan suku yang masih memegang erat dan melestarikan tradisi-tradisi para leluhurnya. Sehingga secara pasti pemilihan lokasi yang tepat juga sangat mendukung dalam proses penelitian.
Data adalah bahan penelitian (Sudaryanto, 1993:3). Data dalam penelitian ini berupa data lisan. Data dalam penelitian ini berupa istilah-istilah Tradisi Malam Suronan di Sedulur sikep samin di Kabupaten Blora. Sumber data lisan berasal dari informan terpilih yaitu Ketua adat Suku Samin yaitu Mbah Lasio dan Para sesepuhnya.
Alat penelitian meliputi alat utama dan alat bantu. Disebut alat utama karena merupakan alat paling dominan dalam penelitian yaitu peneliti sendiri, sedangkan alat bantu yaitu alat yang berguna untuk memperlancar penelitian seperti alat tulis, buku catatan, kamera, computer, dan alat-alat lain yang menunjang dalam menyelesaikan penelitian ini.
Metode merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisis gejala yang ada (Harimurti, 1983:106). Sehubungan dengan jenis instrument dan jenis data yang dikumpulkan maka yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak. Metode simak yaitu dengan menyimak pembicaraan dengan mewawancarai informan yang sudah dipilih dan mengerti tentang istilah-istilah tradisi malam suronan yang digunakan oleh masyarakat Samin di Desa Klopodhuwur, Kabupaten Blora. Kemudian peneliti menggunakan teknik lanjutan yaitu teknik rekam dan teknik catat. Dalam hal ini peneliti merekam semua kata-kata yang muncul dari informan dan mencatat data yang telah direkam. Dari hasil wawancara tersebut, kemudian peneliti mencari data sebanyak-banyaknya. Lalu peneliti memilah dan memilih data yang dibutuhkan. Apabila data sudah terkumpul kemudian dianalisis dengan cara diklasifikasikan berdasarkan bentuk, makna dan penggunannya.
Metode selanjutnya adalah metode deskriptif analisis, yaitu metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya (Aries, 2010:25). Dalam penelitian ini, metode tersebut dilakukan dengan mendeskripsikan istilah-istilah ritual yang digunakan dalam tradisi  malam suronan. Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode padan ekstralingual. Hal ini dikarenakan, peneliti menghubungkan bahasa dengan hal yang di luar bahasa, yaitu budaya.
Metode penyajian hasil analisis data menggunakan metode deskriptif, formal, dan informal. Metode deskriptif adalah metode yang semata-mata hanya berdasarkan fakta-fakta yang ada atau fenomena-fenomena secara empiris hidup pada penutur-penuturnya (Sudaryanto, 1993:63).
Metode informal, yaitu penyajian hasil analisis data yang menggunakan kata-kata biasa atau sederhana agar mudah dipahami. Analisis metode informal dalam penelitian ini agar mempermudah pemahaman terhadap setiap hasil penelitian. Metode formal yaitu metode penelitian data dengan menggunakan dokumen tentang data yang dipergunakan sebagai lampiran. Lampiran tersebut dapat berupa gambar-gambar, bagan, table, grafik, dan sebagainya. Dalam penelitian ini menggunakan lampiran gambar yaitu gambar dokumentasi foto.
        3.      HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Tradisi malam suronan merupakan tradisi yang setiap tahun diadakan oleh masyarakat sedulur sikep samin. Tradisi ini biasanya dilaksanakan pada malam selasa kliwon bulan Sura. Untuk tahun 2015 ini ada yang berbeda, tradisi suranan tidak dilaksanakan pada malam selasa kliwon melainkan ketika bulan purnama tepatnya tanggal 14-15 bulan sura, karena pada tahun ini tidak ada selasa kliwon pada bulan sura. Tradisi ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menghormati dan melebur dosa-dosa pendahulu yang telah tiada. Sebelum melaksanakan tradisi suronan, masyarakat samin melakukan puasa ngruwat dan deder untuk menebus dosa leluhur-leluhur yang sudah meninggal. Setelah melakukan ritual selama 7 hari barulah pada malam harinya malakukan malam suronan yang diisi dengan doa bersama, syukuran dengan menyajikan makanan dan ditutup dengan wayang krucil.
Untuk itu di sini penulis akan membahas tentang makna-makna dari istilah tradisi suronan di masyarakat Samin di Blora. 
  A.    Bentuk Istilah-istilah dalam Tradisi Suronan di Masyarakat Samin
           a.       Monomorfemis
Monomorfemis mencakup semua kata dasar bentuk tunggal dalam istilah-istilah tradisi malam suronan di masyrakat samin Blora. Menurut Harimukti Kridalaksana monomorfemis terjadi dari satu morfem. Morfem  merupakan bahasa terkecil yang maknanya secara relative stabil dan tidak dibagi atas bagian yang lebih kecil misalnya (ter-) (di). Adapun dalam penelitian ini yang termasuk bentuk monomorfemis adalah sebagi berikut :
                  1.      Deder/ dÉ™dÉ™r/
            Deder berkategori verba.
Deder merupakan ritual yang biasa dilakukan yaitu ketika malam jumat dan malam selasa dari malam sampai pagi tidak boleh duduk.
                   2.      Ingkung /iÅ‹kUÅ‹/
            Ingkung berkategori nomina.
Ingkung “ingkung” merupakan ayam jago utuh yang dimasak (yang sudah dibersihkan jeroannya) dimasak dengan bumbu dan dipanggang
                   3.      Tumpeng /tumpəŋ/
            Tumpeng berkategori nomina
Tumpeng merupakan nasi uduk yang dikukus kemudian dibentuk kerucut.
            b.      Polimorfemis
Polimorfemis terdiri atas lebih dari satu orfem (Verhaar, 2004:97). Polimorfemis dibentuk melalui beberapa proses morfem yaitu afiksasi (imbuhan) dan pemajemukan /komponen.
             a.       Afiksasi
                 1.      Sajen/ sajen/
            Sajen berkategori nomina.
            Saji (N) + en → Nomina
                  2.      Ngaron/ Å‹aron/
            Ngaron berkategori nomina.
Ngaron merupakan wadah yang digunakan untuk meletakkan nasi ketika malam suronan berlangsung.
            N + aron → Ngaron (N)
            aronmegaron = ngaron
             b.      Komposisi/Kata Majemuk
Kata majemuk adalah gabungan morfem dasar yang seluruhnya berstatus sebagai kata yang mempunyai pola fonologis, gramatikal, dan semantik yang khusus menurut kaidah bahasa yang bersangkutan, pola khusus tersebut membedakannya dari gabungan morfem dasar yang bukan kata majemuk (Kridalaksana, 2001: 99).
1.      Pasa Ngrawat/ pÉ”sÉ” Å‹rawat/
            Pasa ngruwat berkategori verba.
            Pasa (v) + ngruwat (v) → pasa ngruwat (v)
2.      Jambe suruh/ jambe surUh/
Jambe suruh berkategori nomina.
Jambe (N) + Suruh (N) → jambe Suruh (N)
3.      Klasa Pandan/ klÉ”sÉ” panÉ–an/
Klasa Pandan berkategori nomina.
Klasa + Pandan → klasa Pandan, klasa yang terbuat dari daun pandan lalu dikeringkan.
Klasa (N) + Pandan (N) → Klasa Pandan (N)
4.      Bubur Putih / bubUr putIh/
Bubur Putih Berkategori nomina.
Bubur + putih → bubur puth “bubur yang tidak diberi apa-apa, hanya beras saja.
Bubur (N) + putih (adj) → bubur putih (N)
5.      Bubur Ireng/ bubUr irəŋ/
Bubur Ireng berkategori nomina.
Bubur + ireng (hitam) → bubur ireng “bubur yang terbuat dari ketan ireng”
Bubur (N) + Ireng (adj) → bubur ireng (N)
6.      Bubur Abang / bubUr abaÅ‹/
Bubur Abang berkategori nomina.
Bubur + abang (merah) → bubur abang “bubur yang diberi gula Jawa, sehingga warnanya merah”
Bubur (N) + abang (adj) → bubur abang (N)
7.      Bubur Kuning/ bubUr kunIÅ‹/
Bubur Kuning Berkategori nomina.
Bubur + kunihg → bubur kuning “campuran bubur merah dan putih.
Bubur (N) + kuning (adj) → bubur Kuning (N)
8.      Gedang setangkep/ gÉ™daÅ‹ sÉ™taÅ‹kÉ™p/
Gedang Setangkep berkategori nomina.
Gedang+Setangkep → gedang setangkep
Gedang (N) + setangkep (adj) → gedang Setangkep (N)
         B.     Makna Leksikon dan Kultural dalam Tradisi Malam Suronan di Masyarakat Sedulur Sikep
            1.      Ingkung/ iÅ‹kUÅ‹/
Secara leksikal ingkung `ingkung` merupakan ayam jago utuh yang dimasak (yang sudah dibersihkan jeroannya `bagian dalam ayam`) dimasak dengan bumbu dan dipanggang. Ingkung yaiku pitik diolah wutuhan ditaleni (ditikung) gulu lan sikile “ ingkung adalah ayam yang diolah diikat leher dan kakinya “ (Bausastra, 2001:284).
              2.      Ngaron / Å‹aron/
Secara gramatikal ngaron merupakan tempat yang digunakan untuk wadah nasi. Aron yaiku Arang kanggone megal (tumrap sega). (Bausastra, 1939:19)
              3.      Deder/ dÉ™dÉ™r/
Secara leksikal deder berarti berdiri tidak boleh duduk. Deder yaiku moenggah djedjeg (ora majat). (Bausastra,1939:67)
               4.      Jambe suruh/ jambe surUh/
Secara gramtikal jambe suruh merupakan pinang dan sirih yang biasanya digunakan untuk sesajen. Suruh yaiku tetuwuhan rambat godonge dikinang. (Bausastra, 1939:576)
              5.      Gedang Setangkep / gÉ™daÅ‹ sÉ™taÅ‹kÉ™p/
Secara gramatikal gedhang setangkep terdiri dari unsur gedhang `pisang` dan unsur setangkep `setangkep`. Gedhang setangkep merupakan pisang yang biasanya 
              6.      Tumpeng/tumpəŋ/
Secara leksikal tumpeng `tumpeng` merupakan nasi putih yang dikukus kemudian dibentuk kerucut. Tumpeng yaiku sega diwangun kukusan utawa pasungan (dianggo slametan) (Bausastra, 2001: 802). Tumpeng adalah nasi yang dibentuk seperti kerucut (untuk selamatan dsb.) (KBBI, 2002: 1082). Di sekitar tumpeng biasanya dikelilingi sayuran, misalnya gudhangan, mihun, endhog, dan tempe tahu.
               7.      Bubur Putih / bubUr putIh/
Bubur putih secara gramatikal merupakan bubur yang terbuat dari bahan tepung beras yang ditanak dan diberi santan.
               8.      Bubur Kuning/ bubUr kunIÅ‹/
Bubur kuning atau Bubur Abang dan Putih “Jenang abang putih” secara gramatikal terdiri dari unsur jenang `bubur` abang `merah` dan putih `putih`merupakan bubur yang terbuat dari tepung terigu yang ditanak, dan untuk jenang abang diberi pewarna gula jawa.
               9.      Bubur Abang / bubUr abaÅ‹/
Bubur Abang atau Bubur Merah secara gramtikal merupakan bubur yang terbuat dari tepung beras yang ditanak bersama santan dan diberi pewarna merah.
               10.  Bubur Ireng/ bubUr irəŋ/
Bubur Ireng atau Bubur Hitam secara gramtikal adalah Bubur yg terbuat dari beras ketan hitam, direbus dengan garam dan gula
               11.  Pasa Ngruwat / pAsA Å‹rawat/
Makna gramatikal dari pasa ngruwat atau puasa ruwat adalah, puasa merupakan menghindari makan, minum, dsb dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan), sedangkan ruwat adalah membebaskan orang dari nasib buruk yg akan menimpa. (Menurut KBBI). Pasa yaiku ora mangan lan ora ngombe. (Bausastra 1939:474)
Dalam penulisan istilah-istilah tradisi malam suronan di masyarakat Sedulur Sikep di Blora terdapat makna kultural. Makna kultural tradisi tersebut adalah sebagai berikut :
           1.      Deder /dÉ™dÉ™r/
Deder dilakukan oleh masyarakat samin dengan cara berdiri selama tujuh malam mulai pukul 8 malam sampai 3 pagi, tidak diperkenankan untuk duduk, hal ini dilakukan untuk menebus segala perbuatan dan tingkah laku orang tua perempuan yang telah melahirkan kita.
           2.      Jambe Suruh / jambe surUh/
Sirih dan pinang sama sekali bukan saudara satu spesies, tetapi menyatu dalam kelengkapan orang makan sirih. Dapat dibaca di Bekerja dalam tim: Tuladha dari "kinang"
           3.      Mataraga/matarAgA
Semua diwujudi sesaji jiwa dan raga, saudara tua yang lahir bersama dalam hari tersebut.
            4.      Gedang Setangkep/ gÉ™daÅ‹ sÉ™taÅ‹kÉ™p/
Pisang setangkep diartikan sebagai bekal hidup yang lengkap. Gedang diartikan digawe kadang, artinya dalam kehidupan ini manusia hendaklah selalu berpijak pada rasa kekeluargaan.
            5.      Klasa Pandan/ klAsA pandan/
Klasa adalah alat untuk alas (lemek) tidur, artinya alas (lemek) adalah sebagai pijakan/dasar/pedoman. Pandan merupakan tumbuhan yang berwarna hijau biasanya digunakan untuk pewarna atau wewangian. Pandan berarti wangi yang berasal dari alam. Klasa diartikan sebagai dasar (hukum), bahwa manusia hidup hendaknya tidak sampai meninggalkan hukum kehidupan itu sendiri. Hukum kehidupan yang diciptakan oleh Tuhan sebenarnya menjadikan keseimbangan hidup antara manusia, alam dan zat atau getaran hidup yang mengitarinya.
            6.      Pasa Ngruwat/ pAsA Å‹rawat/
Puasa ngruwat menurut masyarakat samin Blora bertujuan untuk menebus segala perbuatan dan tingkah laku yang dilakukan oleh orang tua laki-laki. Sehingga masyarakat samin di sana wajib melakukannya
            7.      Bubur putih / bubUr putIh/
Menurut masyarakat samin bubur putih melambangkan kesucian hati seorang manusia.
            8.      Bubur ireng/ bubUr irəŋ/
Makna kultural dari bubur ireng oleh msyarakat samin adalah bahwa hitam itu melambangkan arah mata angin yaitu selatan. Hitam berarti Bijaksana. Segala sifat marah, emosi, dan perselisihan bisa diselesaikan oleh sifat manusia yang bijaksana.
            9.      Bubur abang/ bubUr abaÅ‹/
Makna kultural dari bubur merah oleh masyarakat samin adala nafsu. Merah dilambangkan dengan nafsu dan itu merupukan sifat yang ada pada manusia.
            10.  Bubur kuning / bubUr kunIÅ‹/
Bubur kuning dalam masyarakat samin perlambang keinginan. Dan ini merupakan sifat manusia yaitu selalu menginginkan sesuatu.
             11.  Tumpeng /tumpəŋ/
Makna kultural tumpeng yang berbentuk mengerucut ke atas semakin ke atas semakin lancip sebagai simbol keyakinan dan keteguhan iman kepada Allah. Dengan keyakinan maka hidup akan bisa berhasil dan sukses. 
             12.  Ingkung/ iÅ‹kUÅ‹/
Makna kultural ingkung sebagai tumpakan `kendaraan` untuk menghadap Yang Maha Kuasa (perantara menghadap Tuhan, agar permohonannya terkabul). Makna lain sebagai suatu pengorbanan secara tulus yang diperuntukkan kepada Tuhan maupun para leluhur yang telah memberikan keselamatan, perlindungan selama ini. Oleh karena itu manusia berkewajiban untuk berterima kasih kepada Tuhan maupun pada leluhurnya.
        C.    Pola Pikir Masyarakat Samin Terhadap Tradisinya
Pada umumnya masyarakat mempunyai stigma bahwa masyarakat samin merupakan masyarakat yang tertutup, yang jauh  dari kata mau menerima hal – hal baru atau terbuka terhadap perubahan, akan tetapi dibalik stigma tersebut masyarakat samin merupakan masyarakat yang masih kental akan nilai adat dan istiadatnya. Tradisi pada masyarakat samin sudah diturunkan ke banyak generasi. Mayoritas ajaran masyarakat samin berisi tentang nilai–nilai kehidupan dalam bertingkah laku, menghargai alam, dan menghormati leluhur yang sudah meninggalkan mereka.
Pola pikir bahwa hidup harus beriringan dengan alam serta tidak ikut terbawa oleh arus globalisasi menjadikan masyarakat samin memiliki karakter tersendiri yang menjadikan suku samin memiliki keseimbangan dalam menjalani hidup. Pola pikir tersebut tergambar jelas pada prosesi tradisi suronan pada masyarakat samin. Dari uborampe serta tata urutan dalam tradisi suronan, semua memiliki nilai filosofisnya sendiri.  Pada tradisi suronan tersebut, bisa disimpulkan bahwa pola pikir orang samin mengasumsikan bahwa kebudayaan atau tradisi yang mereka lakukan pada saat upacara suronan merupakan salah satu bentuk komunikasi mereka dengan para pendahulu mereka serta sebagai bentuk penghormatan dan penebusan segala kesalahan yang pernah dilakukan terhadap ibu.
Pada intinya pola pikir masyarakat samin cenderung mengedepankan kehidupan yang seimbang, seimbang dalam arti tidak berat sebelah dalam memperlakukan semua makhluk ciptaan Tuhan, baik itu manusia, alam dan lingkungan tempat dimana masyarakat samin tersebut bermukim bahkan dengan para leluhur mereka yang telah tiada, mereka perlakukan dengan penuh penghormatan.
      3.      PENUTUP
Berdasarkan penelitian tentang tradisi suronan di Kabupaten Blora dapat disimpulkan bahwa:
Dalam penelitian terdapat tiga bentuk yaitu monomorfemis, polimorfemis, dan frasa. Bentuk monomorfemis berupa kata dasar yang berjumlah 3 yaitu ingkung, deder, tumpeng; bentuk polimorfemis yang berjumlah 14 yaitu berupa kata jadian/imbuhan berjumlah 2 yaitu deder dan ingkung, kata majemuk yang berjumlah 11 yaitu ;jambe suruh, bubur putih, bubur abang, bubur ireng, bubur kuning, gedang setangkep, klasa pandan, pasa ngruwat, ngaron, sajen, pasa ngruwat.
Dalam tradisi ini istilah-istilah mengandung makna leksikal dan gramatikal yaitu makna leksikal ada 2 yaitu ; deder, dan ingkung. Makna gramatikal ada 11 yaitu : jambe suruh, bubur putih, bubur abang, bubur ireng, bubur kuning, gedang setangkep, klasa pandan, pasa ngruwat, ngaron, sajen, pasa ngruwat.
Makna kultural dari tradisi suronan di masyarakat samin Blora yaitu makna yang dimiliki oleh masyarakat khususnya masyarakat sedulur sikep di desa Klopodhuwur Blora yang berhubungan dengan kebudayaan yang disesuaikan dengan perkembangan masyarakat pada umumnya. Ajaran sedulur menurut mbah Lasio yang merupakan ketua adat yang sekarang, ajaran dari dulu hingga sekarang tidak berubah. Masyarakat di sana senantiasa menjaga dan melestarikan tradisi yang dibuat oleh sesepuh mereka.



DAFTAR PUSTAKA
Aryono Suyono. 1985. Kamus Antropologi. Jakarta : Akademika Pressindo.
Edi Subroto, D. 1992. Pengantar Metode Penelitian Struktural. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Fatimah Djajasudarma. 1999. Semantik II : Pemahaman Ilmu Makna. Bandung :Refika Aditama.
Harimurti Kridalaksana. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
            Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2013. Edisi ke-empat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Ramlan. 1987. Ilmu Bahasa Indonesia: Morfologi suatu tinjauan deskriptif. Yogyakarta: CV. Karyono.
Nanda Fauza. 2010. Skripsi Istilah-Istilah Sesaji Upacara Tradisional Jamasan Pusaka Di Waduk Gajah Mungkur Wonogiri (Suatu Kajian Etnolinguistik). Surakarta:Universitas Sebelas Maret.
Poerwadarminta. 1976. Baoesastra Djawa. Jakarta : JB. Welters.
Sudaryanto. 1990. Aneka Konsep Kedataan Lingual dalam Linguistik.. Yogyakarta:Duta Wacana.
_______. 1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana.
_______. 1996. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta : Duta Wacana.
Suwardi Endraswara. 2006. Mistik Kejawen : Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Shri Ahimsa Putra. 1997. Etnolinguistik: Beberapa Bentuk Kajian, Makalah dalam Temu Ilmiah Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta.


2 komentar untuk "TRADHISI SURONAN DI MASYARAKAT SAMIN BLORA KAJIAN ETNOLINGUISTIK"

  1. Your Affiliate Money Making Machine is waiting -

    Plus, making profit with it is as easy as 1...2...3!

    Here's how it all works...

    STEP 1. Tell the system what affiliate products the system will advertise
    STEP 2. Add PUSH button traffic (it ONLY takes 2 minutes)
    STEP 3. Watch the affiliate system explode your list and sell your affiliate products all on it's own!

    Are you ready to start making money???

    Click here to launch the system

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus