TRADISI MALAM 1 SURO DI DESA TRAJI KECAMATAN PARAKAN KABUPATEN TEMANGGUNG
LAPORAN OBSERVASI
TRADHISI
1 SURA DI DESA TRAJI KECAMATAN PARAKAN
KABUPATEN TEMANGGUNG
Disusun untuk memenuhi tugas Etnolinguistik
Dosen Pengampu : Ibu Nur Fateah
Oleh :
1. Arif Nugroho
2.
Adi
pandu wicaksono
3. Rofiul Azmi
4.
Eko
Yulianti
FAKULTAS
BAHASA DAN SENI
JURUSAN
BAHASA DAN SASTRA JAWA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Makalah ini ditulis untuk memenuhi
tugas Etnolinguistik. Pada makalah ini penulis membahas tentang ”
Tradhisi 1 Sura di Desa Traji Kecamatan
Parakan Kabupaten Temanggung ”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis mengalami romantika baik suka maupun duka.
Kendala itu dapat penulis hadapi karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1.
Ibu
Nur Fateah, selaku dosen pengampu Mata Kuliah Etnolinguistik.
2.
Orang
tua yang telah memberikan dana dalam penulisan makalah ini.
3.
Teman-teman
Mata Kuliah Etnolinguistik yang mendukung selama penulisan makalah ini.
4.
Segenap
pengurus Balai Desa Traji yang telah berkenan dan mengiizinkan untuk melakukan
observasi.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan
maupun materi, mengingat keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk
dijadikan bahan diskusi yang dapat membantu dalam proses belajar selanjutnya.
Semarang, Oktober
2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Indonesia merupakan
negara yang berjuluk surganya dunia, sebab di Indonesia terdapat kekayaan alam
yang berlimpah, suku yang beraneka ragam, agama dan keyakinan yang beragam dan
saling menghargai, kebudayaan yang beraneka ragam, dan masih banyak kekhasan
yang dimiliki bangsa Indonesia.
Salah satunya
berada di Desa Traji, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung yang tergolong masyarakat
agraris mempunyai kebudayaan yang merupakan percampuran antara budaya Jawa,
Islam, dan bercampur dengan aliran kepercayaan yang lain dari seluruh
masyarakat yang menjadi satu dalam tradisi. Masyarakat Desa Traji mempunyai
cara tersendiri untuk merayakan datangnya 1 Sura yang bertepatan dengan tanggal
1 Muharam dalam kalender Hijriyah. Tanggal 1 Sura tersebut merupakan
pergantiaan tahun atau sering disebut dengan tahun baru Islam yang selalu
dirayakan oleh seluruh umat Islam di manapun berada, dengan berbagai acara yang
berbeda dari tempat satu dengan tempat yang lain.
Tradisi ini selalu dilakukan secara rutin oleh masyarakat Desa Traji pada malam 1 Sura. Mereka menganggap bahwa acara tersebut adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan meskipun yang melakukan ritual hanya Kepala Desa dan istrinya, sedangkan masyarakat berperan sebagai partisipan/peserta.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja leksikon dan makna yang ditemukan pada Tradisi 1 Sura di Desa Traji, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung?
2. Bagaimana pola pikir masayarakat setempat mengenai Tradisi 1 Sura di Desa Traji, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung?
Setelah
melakukan penelitian tradisi 1 Sura di Desa Traji, Kecamatan Parakan, Kabupaten
Temanggung tersebut, mahasiswa diharapkan dapat :
1.
Mendeskripsikan
bentuk-bentuk istilah yang digunakan dalam tradisi 1 Sura di Desa Traji,
Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung.
2. Mendeskripsikan makna istilah yang digunakan dalam tradisi 1 Sura di Desa Traji, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung.
1.4 Manfaat
Penelitian
Berdasarkan pada
tujuan yang hendak dicapai, maka penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat
sebagai berikut :
1.
Manfaat
Teoritis
a.
Hasil
penelitian diharapkan dapat digunakan untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan
memberikan kegunaan untuk bidang akademik.
b.
Mengetahui
bentuk upacara adat masyarakat Jawa yang beraneka ragam serta mempunyai nilai
kehidupan yang sangat bermanfaat bagiperadaban manusia khususnya dalam bidang
kajian etnolingusitik.
2.
Manfaat
Praktis
a.
Bagi
masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberi bahan pertimbangan yang
bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah Desa Traji dalam rangka melestarikan
kebudayaan.
b.
Bagi
peneliti, untuk mengaplikasikan kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu
pengetahuan yang didapatkan dari mata kuliah etnolinguistik.
c.
Bagi
pelajar, dapat menambah pengetahuan tentang bahasa Jawa dan kebudayaan atau
tradisi masyarakat Jawa serta dapat menjadikan sumber rujukan untuk penelitian
selanjutnya yang sejenis.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1 Pengertian
1 Sura
Satu Suro adalah hari pertama
dalam kalender Jawa di
bulan Sura atau Suro di
mana bertepatan dengan 1 Muharram dalam
kalender hijriyah, karena Kalender jawa yang diterbitkan Sultan
Agung mengacu penanggalan Hijriyah (Islam).
Satu suro biasanya diperingati pada
malam hari setelah magrib pada hari sebelum tangal satu biasanya disebut malam
satu suro, hal ini karena pergantian hari Jawa dimulai pada saat matahari
terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam.
Satu Suro memiliki banyak pandangan dalam masyarakat Jawa, hari ini dianggap kramat terlebih bila jatuh pada jumat legi. Untuk sebagian masyarakat pada malam satu suro dilarang untuk ke mana-mana kecuali untuk berdoa ataupun melakukan ibadah lain.
2.2 Tradisi
Menurut Jalaludi
Tunsam dalam tulisannya pada tahun 1660 menyatakan bahwa “adat” berasal dari
bahasa arab yang merupakan bentuk jamak dari (adah) yang memiliki arti cara
atau kebiasaan. Sepeerti yang telah dijelaskan bahwa adat merupakan suatu
gagasan kebudayaan yang mengandung nilai kebudayaan, norma, kebiasaan serta
hukum yang sudah lazim dilakukan oleh suaatu daerah. Nah, biasanya apabila adat
ini tidak dipatuhi maka akan ada sangsi baik yang tertulis maupun langsung yang
diberikan kepada pelaku yang melanggarnya.
Sedangkan menurut Koen
Cakraningrat, adat ialah suatu bentuk perwujudan dari kebudayaan. Kemudian,
adat digambarkan sebagai tata kelakuan. Adat merupakan sebuah norma atau aturan
yang tidak tertulis, akan tetapi keberadaannya sangat kuat dan mengikat
sehingga siapa saja yang melagggarnya akan dikenakan sangsi yang cukup keras.
Contohnya, jika ada pasangan yang melakukan suatu hubungan tidak terpuji
seperti perzinahan maka pasangan tersebut akan mendapatkan sangsi baik secara
fisik maupun mental seperti yang diterapkan oleh provinsi Aceh yang menerapkan
hukuman cambuk.
Adat istiadat
adalah segala dalil dan ajaran mengenai bagaimana orang bertingkah laku dalam
masyarakat. Rumusannya sangat abstrak, karena itu memerlukan usaha untuk
memahami dan merincinya lebih lanjut. Adat dalam pengertian ini berfungsi
sabagai dasar pembangunan hukum adat positif yang lain. Adat istiadat yang
nyata yang menjadi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari (Mohammad
Daud Ali, 1999).
Adat istiadat juga
mempunyai akibat-akibat apabila dilanggar oleh masyarakat, dimana adat istiadat
tersebut berlaku. Adat istiadat tersebut bersifat tidak tertulis dan
terpelihara turun temurun, sehingga mengakar dalam masyarakat, meskipun adat
tersebut tercemar oleh kepercayaan (ajaran) nenek moyang, yaitu Animisme dan
Dinamisme serta agama lain. Dengan demikian adat tersebut akan mempengaruhi
bentuk keyakinan sebagai masyarakat yang mencampurkan adukannya dengan agama
Islam (Imam Sudiyat.1982).
Dari penjelasan
diatas dapat disimpulkan bahwa adat istiadat adalah aktivitas prilaku-prilaku,
tindakan-tindakan individu satu terhadap yang lain. Kemudian menimbulkan
reaksi, sehingga menghasilkan suatu interaksi sosial. Perilaku dan tindakan
manusia pada dasarnya gerak tubuh manusia.
Upacara adat merupakan
serangkaian tindakan atau perbuatan yang terkait pada aturan tertentu
berdasarkan adat istiadat, agama, dan kepercayaa. Jenis upacara dalam kehidupan
masyarakat antara lain : upacara perkawinan, upacara pengukuhan kepala suku.
Upacara adat yang merupakan salah satu cara menelusuri jejak sejarah masyarakat
Indonesia pada masa lalu dan dapat kita jumpai pada upacara-upacara adat
merupakan warisan nenek moyang kita. Selain itu metologi dan legenda, cara yang
dapat dilakukan untuk mengenal kesadaran sejara pada masyarakat yang belum
mengenal tulisan, yaitu melalui upacara. Upacara pada umumnya memiliki nilai
sakral oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut (Wahyudi Pantja Sunjata,
1997).
Menurut Koentjaraningrat
ada beberapa unsur yang terkai dengan pelaksanaan upacara adat antara lain
adalah :
a.
Tempat
berlangsungnya upacara
b.
Saat
waktu pelaksanaan upacara
c.
Benda-benda
atau alat dalam upacara
d.
Orang-orang
yang terlibat didalamnya
Unsur-unsur di
atas merupakan kewajiban, oleh karena itu dalam setiap melaksanakan upacara,
keempat unsur di atas harus disertakan. Di dalam unsur-unsur tersebut terdapat
beberapa unsur perbuatan yang terkait dengan pelaksanaan upacar adat.
Beberapa
perbuatan yang berkenaan pada saat berlangsungnya upacara seringkali dilakukan.
Mereka menganggap bahwa perbuatan tersebut sudah menjadi kebiasaan dan memang
perlu dilakukan. Adapun, kegiatan diantara lain adalah :
a.
Bersesaji
b.
Berdo’a
c.
Makan
bersama
d.
Berprosesi
e.
Berpuasa
f.
Bersemedi
Rangkaian
kegiatan adat di atas merupakan unsur pokok di dalam melaksanakan upacara adat.
Oleh karena itu, pada saat upacara adat terdiri dari beberapa rangkaian
kegiatan yang telah disebutkan di atas. Namun tidak semua, kegiatan secara
terperinci dilakukan pada saat upacara adat. Ada yang terdiri dari semua
kegiatan yang telah disebutkan di atas tapi ada pula yang hanya melakukan
beberapa dari kegiatan tersebut karena disesuaikan dengan kebutuhan pada saat
upacara adat.
- Tahukah Kalian 5 Tempat Terseram di Dunia
- Pulau Poveglia Italia Misteri dan Sejarah di Pulau Terasing yang Menyimpan Rahasia
- Edinburgh Castle Benteng yang Megah di Jantung Skotlandia
- Mercusuar St Augustine Jantung Sejarah Maritim di Pantai Timur Amerika Serikat
- Wisata Kota Semarang
- Conn Barracks Menyelusuri Jejak Militer dan Sejarah di Jerman
- Ramayana: Epik Klasik dan Watak Pewayangan Beserta Silsilah Keluarga
2.4 Makna
dan Simbol dalam Upacara Adat
Manusia yang hidup
dalam kehidupan masyarakat erat hubungannya dengan budaya, sehingga munusia
disebut makhluk budaya. Kebudayaan sendiri terdiri dari atas gagasan,
sombol-simbol, dan nilai-nilai sebagai hasil dari tindakan manusia. Budaya
manusia penuh diwarnai dengan simbol-simbol yang berupa benda keadaanya
sebenarnya bebas terlepas dari tindakan manusia, tetapi sebaliknya tindakan
manusia harus selalu mempergunakan simbol-simbol sabagai media penghantar dalam
komunikasi. Namun tanpa simbol komunikasi atau tindakan akan beku. Akan tetapi,
simbol sering digunakan dalam tindakan manusia, sehingga manusia akan
melestarikan dan menghidupkan kembali pada waktu tertentu apabila diperlukan
(Budiono Herusatoto 2008).
Setiap upacara adat
terkandung tujuan, fungsi, dan makna dalamupacara tersubut. Dengan adanya makna
dalam upacara bagi kehidupan masyarakat pendukungnya, maka upacara adat sebagai
salah satu bentuk ungkapan budaya yang mempunyai fingsi, antra lain sebagai
faktor pemersatu seluruh lapisan masyarakat (Wahyudi Pantja Sunjata, 1999).
Pendekatan Etnolinguistik
Penelitian mengenai makna istilah-istilah tradisi 1 Sura pada masyarakat Desa
Traji, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung menggunakan kajian
Etnolinguistik. Etnolinguistik adalah cabang dari linguistik yang menyelidiki
tentang hubungan antara bahasa dan masyarakat yang belum mengenal tulisan;
cabang linguistik antropologi yang menyelidiki hubungan bahasa dan sikap
bahasawan terhadap bahasa; salah satu aspek etnolinguistik yang sangat menonjol
adalah masalah relativitas bahasa (Kridalaksana, 1982: 42).
Istilah etnolinguistik berasal dari perpaduan antara etnologi dengan
linguistik, sehingga kajian etnolinguistik sangat penting untuk mengetahui
hubungan kebudayaan dengan masalah bahasa, serta bagaimana kebudayaan yang
terbentuk tersebut secara terus-menerus mengalami perubahan. Kelahiran
etnolinguistik sangat erat berkaitan dengan hipotesis Sapir-Whorf. Hipotesis
Sapir-Whorf disebut dengan relativisme bahasa (language relativism) dari pikiran
Boas (Sampson dalam laporan penelitian D.Edi Subroto.dkk, 2003: 6). Hipotesis
tersebut menyatakan bahwa bahasa manusia membentuk atau mempengaruhi persepsi
manusia akan realitas lingkungannya atau bahasa manusia mempengaruhi lingkungan
dalam memproses dan membuat kategori-kategori realitas di sekitarnya (Sampson
dalam laporan penelitian D. Edi Subroto.dkk, 2003: 6).
Penelitian etnolinguistik ini pada awal mulanya dipelopori oleh antropolog
yang berasal dari Inggris, yaitu Bronislaw Malinowski. Peneliti lapangan
tersebut tinggal bersama dengan orang-orang yang menetap di kawasan Pasifik
atau yang dikenal dengan orang Trobiand selama kurang lebih dua tahun. Dia
sengaja menetap dengan kalangan Trobiand dan juga belajar bahasa mereka agar
dapat berkomunikasi dengan mereka dan mengetahui budaya yang berlaku dan dapat
memahami cara pandang hidup mereka dengan lebih baik. Tradisi penelitian
semacam ini akhinya berkembang dan seterusnya menjadi bagian terpenting dalam
ilmu antropologi. Sehingga apabila seorang ingin menjadi seorang antropolog
profesional maka mereka dituntut untuk dapat memahami dan menguasai bahasa
tempat mereka melakukan penelitian.
Ketika tradisi penelitian mulai berkembang dan semakin pesat, minat yang
ditumbuhkan oleh Boas untuk meneliti dengan seksama sejarah suku-suku bangsa
dan aneka ragam jenis bahasa mereka, kemudian oleh beberapa orang muridnya
termasuk di dalamnya Edward Sapir mengembangkan tradisi penelitian tersebut.
Sebagai salah satu perintis berdiriya studi Etnolinguistik dalam Antropologi,
Sapir mulai membuka persoalan baru dalam studi etnolinguistik yaitu mengenai
hubungan antara bahasa dan kebudayaan. Pandangan tersebut mulai dikembangkan
oleh salah satu muridnya yaitu Benjamin Lee Whorf (Shri Ahimsa Putra, 1997:
1-2). Sapir sendiri adalah seorang ahli dalam bidang antropologi yang menaruh
minat besar pada masalah-masalah kebudayaan.
Pengertian
Etnolinguistik
Harimurti Kridalaksana (1982: 42) mengemukakan bahwa etnolinguistik adalah
cabang ilmu linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat
pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan bidang ini juga disebut
linguistik antropologi dan cabang ilmu linguistik antropologi yang menyelidiki
hubungan bahasa dan sikap bahasawan terhadap bahasa, salah satu aspek
etnolinguistik yang sangat menonjol ialah masalah relatifitas bahasa.
Etnolinguistik (etnolinguistic) adalah ilmu yang meneliti seluk
beluk hubungan aneka pemakaian bahasa dengan pola kebudayaan (Sudaryanto,
1996:7). Sedangkan menurut pendapat dari Shri Ahimsa Putra (1997: 3) istilah
‘etnolinguistik’ berasal dari kata ‘etnologi’ dan ‘linguistik’, yang lahir
karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh para
ahli etnologi (kini: antropologi budaya) dengan pendekatan linguistik.
Sedangkan relatifitas bahasa menurut Harimurti Kridalaksana (1982: 145)
adalah salah satu pandangan bahwa bahasa seseorang menentukan pandangan
dunianya melalui kategori gramatikal dan klarifikasi semantik yang ada dalam
bahasa itu dan yang dikreasi bersama kebudayaannya.
Dalam hal semacam ini sebenarnya ada suatu timbal-balik antara disiplin
linguistik dengan disiplin etnologi yang sama-sama saling memberi sumbangan
bagi keduanya.dengan adanya pengabungan pendekaan, maka kajian etnolinguistik
dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu kajian linguistik yang memberikan
sumbangan bagi etnologi dan sebaliknya kajian etnologi member sumbangan
terhadap linguistik.
BAB
III
METODE PENELITIAN
Metode Penelitian merupakan cara, alat, prosedur, dan
teknik yang dipilih dalam melakukan penelitian. Metode adalah cara untuk
mengamati atau menganalisis suatu fenomena, sedangkan metode penelitian
mencakup kesatuan dan serangkaian proses penentuan kerangka pikiran, perumusan
masalah, penentuan sampel data, teknik pengumpulan data, dan analisis data (Edi
Subroto, 1992:31)
Metode penelitian ini akan membicarakan mengenai 1) sifat
penelitian; 2). Lokasi penelitian; 3). Data dan sumber data; 4) alat
penelitian; 5). Metode pengumpulan data; 6). Metode analisis data; 7). Metode
penyajian hasil analisis data.
3.1
Sifat Penelitian
Sifat
penelitian ini adalah deskriptif yang dilakukan semata-mata berdasarkan pada
fakta yang ada atau fenomena empiris hidup pada penutur-penuturnya. Sehingga
menghasilkan catatan berupa pemberian bahasa dan sifatnya seperti potret
(Sudaryanto, 1993: 62).
Deskriptif
adalah metode yang bertujuan membuat deskripsi, maksudnya membuat gambaran
lukisan secara sistematiis, factual, dan akurat mengenai data, sifat-sifat
serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti (Fatimah Djajasudarma, 1993:88).
Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan social
yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya
sendiri dan berhubungan dengan masyarakat tersebut melalui bahasanya serta
peristilahan (Fatimah Djajasudarma, 1993:10). Dalam Penelitian ini data yang
terkumpul berbentuk kata-kata, analisis dan hasil laporan analisis menggunakan
kata-kata pula.
3.2 Lokasi
penelitian
Lokasi
penelitian adalah temapat atau objek penelitian. Lokasi penelitian ini ada di
Kabupaten Temanggung, yaitu lebih tepatnya Desa Traji, Kecamatan Parakan,
Kabupaten Temanggung. Penulis mengambil lokasi ini sebagai objek penelitian
karena merupakan salah satu wilayah yang masih melestarikan tradisi-tradisi
yang berasal dari turun-temurun dari nenek moyang yang sebelumnya. Sehingga
secara pasti pemilihan lokasi yang tepat juga sangat mendukung dalam proses
penelitian.
3.3 Data
dan sumber data
Data
adalah bahan penelitian (Sudaryanto, 1993:3). Data dalam penelitian ini berupa
data lisan. Data dalam penelitian ini berupa istilah-istilah Tradisi 1 Sura di
Desa Traji, Kecamatam Parakan, Kabupaten Temanggung. Sumber data lisan berasal
dari informan terpilih, yaitu Kepala Dusun Traji yaitu Bapak Jupri, dukun Mbah
Yami dan sesepuh/juru kunci Sendhang Sidukun Mbah Suwari 70 taun.
·
Pemahaman
mengenai berbagai macam sumber data merupakan bagian yang sangat penting bagi
peneliti, karena ketepatan memilih dan menentukan jenis sumber data akan menentukan ketepatan
dan kekayaan data atau in formasi yang diperoleh, data tidak akan bisa
diperoleh tanpa adanya sumber data (H.B Sutopo, 2000:49)
3.4 Alat
penelitian
Alat
penelitian meliputi alat utama dan alat bantu. Disebut alat utama karena merupakan
alat paling dominan dalam penelitian, yaitu peneliti sendiri, sedangkan alat
bantu, yaitu alat yang berguna untuk memperlancar penelitian seperti alat
tulis, buku catatan, alat perekam, kamera, computer, dan alat-alat lain yang
menunjang dalam menyelesaikan penelitian ini.
3.5 Metode pengumpulan data
Metode merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisis gejala yang ada (Harimurti, 1983:106). Sehubungan dengan jenis instrument dan jenis data yang dikumpulkan maka yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak. Metode simak yaitu dengan menyimak pembicaraan dengan mewawancarai informan yang sudah dipilih dan mengerti tentang istilah-istilah tradisi malam suronan yang digunakan oleh masyarakat Samin di Desa Klopodhuwur, Kabupaten Blora. Kemudian peneliti menggunakan teknik lanjutan yaitu teknik rekam dan teknik catat. Dalam hal ini peneliti merekam semua kata-kata yang muncul dari informan dan mencatat data yang telah direkam. Dari hasil wawancara tersebut, kemudian peneliti mencari data sebanyak-banyaknya. Lalu peneliti memilah dan memilih data yang dibutuhkan. Apabila data sudah terkumpul kemudian dianalisis dengan cara diklasifikasikan berdasarkan bentuk, makna dan penggunannya.)
3.6 Metode analisis data
Metode
selanjutnya adalah metode deskriptif analisis, yaitu metode penelitian yang
berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya
(Aries, 2010:25). Dalam penelitian ini, metode tersebut dilakukan dengan
mendeskripsikan istilah-istilah ritual yang digunakan dalam tradisi malam suronan. Metode
analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode padan ekstralingual. Hal
ini dikarenakan, peneliti menghubungkan bahasa dengan hal yang di luar bahasa,
yaitu budaya.
3.7 Metode penyajian hasil analisis data
Metode
penyajian hasil analisis data menggunakan metode deskriptif, formal, dan
informal. Metode deskriptif adalah metode yang semata-mata hanya berdasarkan
fakta-fakta yang ada atau fenomena-fenomena secara empiris hidup pada
penutur-penuturnya (Sudaryanto, 1993:63)
Metode
informal, yaitu penyajian hasil analisis data yang menggunakan kata-kata biasa
atau sederhana agar mudah dipahami. Analisis metode informal dalam penelitian
ini agar mempermudah pemahaman terhadap setiap hasil penelitian. Metode formal
yaitu metode penelitian data dengan menggunakan dokumen tentang data yang
dipergunakan sebagai lampiran. Lampiran tersebut dapat berupa gambar-gambar,
bagan, table, grafik, dan sebagainya. Dalam penelitian ini menggunakan lampiran
gambar yaitu gambar dokumentasi foto.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Leksikon
Tradisi 1 Sura di Desa Traji Kecamatan Parakan Kabupaten Temanggung.
NO |
Leksikon |
Makna Leksikon |
Makna Kultural |
1. |
Kenduren |
Memohon do’a
kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi keselametan. |
Slametan kenduren
yang terdiri dari nasi tumpeng, golong (bulatan nasi) 7 buah dan sayur. Supaya
upacara 1 Sura dapat berjalan lancar. |
2. |
Kain truntum |
Kain yang
digunakan pengantin pada hari pernikahan. |
|
3. |
Menyan |
Getah pohon
kemenyan |
Memohon kepada
Tuhan Ynag Maha Esa agar diberi keselamatan supaya upacara sesaji 1 Sura
dapat berjalan dengan baik dan lancar. |
4. |
Blencong |
Lampu sorot
kelir |
Lampu yang
digunakan untuk pagelaran wayang. |
5. |
Balak |
Bencana |
Desa Traji kalau
tidak melakukan Tradisi 1 Sura, akan ada bencana. Contoh: ada yang sawahnya
gagal panen, ada yang dagangan yang tidak laku-laku dll. |
6. |
Kidungan |
Macapat atau
nembang Jawa |
Macapat yang
mempunyai tujuan untuk ketentraman dan kesejahteraan masyarakat Desa Traji. |
7. |
Golong |
Nasi yang
dibentuk bulat yang berjumlah 7 buah. |
Menggolongkan
atau menyatukan doa apa yang dituju. |
8. |
Lanyahan |
Bermacam-macam
masakan sayuran. |
Supaya doa-doa
yang dituju terkabul. |
9. |
Bucu |
Nasi yang
dibentuk kerucut |
Bahwa hidup harus
satu tujuan yang kuat, yaitu kepada Tuhan. |
10. |
Jajan pasar |
Berupa hasil
bumi yang diolah para petani, misalnya: pisang, tebu, jagung, kacang dll. |
Betul-betul
pasrah kepada Tuhan. |
11. |
Kembang
setelon |
|
Manusia hidup itu
harus bisa meninggalkan dan memberikan
sesuatu kebaikan kepada sesama. |
12. |
Beras
kaputro |
Beras kuning |
Bila mempunyai
rezki atau kenikmatan dari Tuhan jangan dimakan sendiri, tetapi harus
bagi-bagi dengan sesama agar menjadi berkah. |
13. |
Ndhas wedhus |
Kepala
kambing yang digunakan untuk sesaji. |
Menandakan jika
menjadi pemimpin menunduklah seperti kepala kambing tersebut, yaitu bisa
menoleh keatas dan menoleh kebawah kaki, kepala kambing menandakan agar bisa
tanggung jawab ke atas kepada Tuhan YME dan ke bawah kepada rakyat yang
dipimpinnya. |
14. |
Pala wija |
Hasil bumi |
Yang diharapkan
petani khususnya petani Desa Traji supaya bisa makmur dan bisa menghasilkan
banyak dan berkah. |
15. |
Ingkung |
Ayam
kampung, yang digunakan ayam jago |
Mengendalikan
hawa nafsu |
16. |
Cucuk pitik
jago |
Mulut ayam |
Mengendalikan
hawa nafsu dari pembicara supaya dapat berbicara yang baik-baik saja |
17. |
Swiwi pitik
jago |
Sayap ayam
jago |
Mengendalikan
hawa nafsu dari mengambil barang yang bukan haknya. |
18. |
Ketan |
Beras ketan |
Mempererat
persaudaraan |
19. |
Wajik |
Yang terbuat
dari beras ketan dan dicampur dengan gula Jawa. |
Wujud dari
persaudaraan menunjukan yang manis-manis atau yang baik-baik saja. |
20. |
Kembang
mboreh |
Bunga yang
terdiri dari 3 macam (kembang ketelon) |
Harus berbuat
baik kepada tiga golongan : orang tua, guru, dan saudara. |
21. |
Tigan |
Telur ayam Jawa |
Menyimbolkan
sifat manusia walaupun berbuat sedikit tetapi harus berharga dan bermakna,
dan jangan menganggap sepele kepada sesama. |
22. |
Pitik wiyogo |
|
Ayam untuk sesaji
gong pada saat pagelaran wayang kulit. |
4.2 Pola
Pikir Masyarakat Mengenai Tradisi 1 Sura di Desa Traji Kecamatan Parakan
Kabupaten Temanggung.
Berkaitan dengan pola pikir
masyarakat dalam lingkup ini adalah mengenai tradisi 1 Sura di Desa Traji,
Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, peneliti mengkaji sesuai bidang
penelitian, yaitu etnolinguistik dan mendapatkan hasil tentang sistem dan pola
pikir masyarakat terkait, bahwa :
1. Masyarakat
Desa Traji masih terpengaruh kebudayaan Jawa yang berlatar multireligi. Itu
dapat kita ketahui pada rangkaian prosesi terdapat upacara adat yang memadukan
berbagai unsur religi, seperti Doa bersama yang dipimpin oleh Pak Kaum yang memiliki
keyakinan religi Islam. Kemudian terdapat upacara sesaji/sesajen yang merupakan
cerminan tradisi/budaya Hindu-Budha yang kini telah berevolusi dan memiliki
makna terkhususkan dan tidak lagi memiliki arti penyembahan terhadap suatu
benda tertentu, melainkan memiliki makna keinginan atau permintaan berupa doa
yang dialih rupakan menjadi simbol-simbol benda yang memiliki makna-makna
tersirat di dalamnya.
2.
Masyarakat
Desa Traji mempercayai dan bahkan dapat dikatakan menjadi idialisme mereka
bahwa tradisi tersebut berkaitan tidak hanya pada bangsa manusia saja, namun
berkaitan dengan alam, bangsa gaib, dan ketuhanan yang diwadahi dalam budaya
dan tradisi untuk menyatukan berbagai macam unsur tersebut guna saling
menghormati makhluk ciptaannya baik alam, maupun bangsa gaib. Kemudian pada
akhirnya dengan penuh kesadaran seluruh kegiatan tersebut dipertanggungjawabkan
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3.
Masyarakat
Desa Traji mempercayai bahwa kebudayaan yang mereka lestarikan memiliki makna
menghindarkan seluruh lapisan masyarakat terkait dari balak maupun mala petaka
yang tidak diinginkan. Kebudayaan atau tradisi 1 Sura ini juga memiliki makna
sebagai salah satu cara untuk mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh tuhan
Yang Maha Esa, yang berlimpah ruah, dan memiliki harapan dengan ucapan rasa
syukur tersebut akan diberikan berkah dan nikmat yang lebih oleh Tuhan Yang
Maha Esa.
4. Dari
segi bahasa, masyarakat Desa Traji mempunyai ciri khas, yaitu sama seperti
masyarakatan Kecamatan Parakan lainnya yang masih terpengaruh oleh ragam bahasa
Jawa Mataraman dan sebagian terpengaruh Banyumasan. Terbukti dengan hasil
wawancara secara langsung kepada juru kunci dan beberapa pihak terkait
penelitian ini. Mereka juga memiliki ungkapan/leksikon-leksikon khas beserta
maknanya sesuai dengan data terlampir di atas.
5.
Dengan
demikian mereka warga masyarakat Desa Traji memiliki cita-cita dan upaya untuk
tetap melestarikan dan mengembangkan kebudayaan yang mereka miliki sebagai
salah satu bentuk kearifan lokal yang adi luhung yang patut dipertahankan dan
dilestarikan bahkan dapat dikembangkan menjadi daya tarik pariwisata wilayah
setempat, sesuai dengan cita-cita pihak terkait yang telah kami wawancarai.
BAB V
PENUTUP
Berdasarkan hasil analisis dan
pembahasan yang telah dilakukan dalam penelitian, dapat disimpulkan bahwa leksikon beserta maknanya dan pola pikir pada
masyarakat Dusun Traji
Kec. Parakan Kab. Temanggung terdapat
ciri khas tersendiri dan memiliki makna yang terkhususkan pada aspek-aspek
tertentu, bahasa yang digunakan juga terpengaruh oleh kebudayaan yang bersifat
turun-temurun dan menjadi lumrah bagi masyarakat terkait dan masyarakat
sekitar. Kemudian pada tataran kebudayaan atau tradisi memiliki tujuan-tujuan
tertentu yang tidak dapat dengan sembarangan mengartikannya.
Bagi peneliti bidang bahasa
hendaknya dapat menggali dan mengungkapkan permasalahan dalam bidang etnolinguistik lainnya karena masih
banyak aspek yang dapat diteliti selain makna leksikon dan pola pikir masyarakat tataran etnolinguistik.
DAFTAR PUSTAKA
Aries, Erna Febru. 2010. Design Action Research.
Yogyakarta: Aditya Media Publising.
Basrowi dan Suwandi.2008. Memahami
Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta.
Duranti, Alessandro.1997. Linguistic Antropology.
Cambridge: Cambridge University
Press.
https://id.wikipedia.org/wiki/Satu_Suro
http://www.duniapelajar.com/2014/07/04/pengertian-adat-istiadat-menurut-para-ahli/
Koentjaraningrat, Prof. Dr. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:
Rineka Cipta.
Sudaryanto.1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis
Bahasa (Pengantar Penelitian
Wahana Kebudayaan Secara Religius). Yogyakarta: Duta Wacana University press
Posting Komentar untuk "TRADISI MALAM 1 SURO DI DESA TRAJI KECAMATAN PARAKAN KABUPATEN TEMANGGUNG"
Berkomentarlah dengan baik dan dengan menggunakan kata-kata yang sopan.