PENGGUNAAN ISTILAH MAKANAN DAN JAJANAN TRADISIONAL DI KABUPATEN BLORA (KAJIAN ETNOLINGUISTIK)
LAPORAN OBSERVASI
PENGGUNAAN
ISTILAH MAKANAN DAN JAJANAN TRADISIONAL DI KABUPATEN BLORA (KAJIAN ETNOLINGUISTIK)
Disusun untuk memenuhi tugas Etnolinguistik
Dosen Pengampu : Ibu Nur Fateah
Oleh
Evi Wijayanti (2601413061)
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA JAWA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah Ini Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Etnolinguistik. Pada Makalah Ini Penulis Membahas Tentang
”Penggunaan Istilah Makanan Dan Jajanan
Tradisional Di Kabupaten Blora (Kajian Etnolinguistik)”. Dalam penulisan makalah ini, penulis mengalami
romantika baik suka maupun duka. Kendala itu dapat penulis hadapi karena
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Nur Fateah, selaku dosen pengampu
Mata Kuliah Etnolinguistik.
2. Orang tua yang telah memberikan dana
dalam penulisan makalah ini.
3. Teman-teman semua Mata Kuliah
Etnolinguistik yang mendukung selama penulisan
makalah ini.
4. Segenap jajaran orang-orang
masyarakat Blora yang telah berkenan dan mengiizinkan sebagai obyek observasi..
Penulis menyadari masih banyak kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat keterbatasan pengetahuan yang
penulis miliki. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk dijadikan bahan diskusi yang dapat membantu dalam proses belajar
selanjutnya.
Semarang, Januari
2016
Penulis
2.2 Pengertian tentang
Istilah
3.7 Metode penyajian
hasil analisis data
4.1 Bentuk
Istilah-istilah Makanan dan Jajanan Tradisional Kabupaten Blora
4.2 Makna Istilah
Makanan dan Jajanan Tradisional
4.3 Pola Pikir
Masyarakat Blora
Siapa yang tak bingung jika disuruh menyebutkan
makanan di Indonesia? Saking banyaknya
kuliner khas yang ada di Indonesia, kita sampai menggeleng-gelengkan kepala.
Siapa yang tidak bangga menjadi warga Indonesia, begitu ragam kekayaannya.
Mulai dari sabang sampai merauke memiliki makanan khas daerahnya sendiri.
Bahkan makanan dari Indonesia yaitu rendang dari Padang menduduki sepuluh besar
peringkat dunia karena kelezatannya.
Namun sayang makanan dan jajanan tradisional pada
zaman sekarang sulit sekali ditemukan, mungkin hanya ditemukan pada acara-acara
tertentu saja. Justru sekarang banyak yang menjual makanan modern seperti pizza, sphageti, hot dog, dll. Penyebab
makanan dan jajanan tradisional sekarang sulit ditemukan karena banyaknya
generasi sekarang yang tidak bisa membuat makanan dan jajanan tradisional
sehingga kalah bersaing dengan makanan modern yang sekarang banyak dibuat
bisnis rumahan oleh masyarakat Indonesia.
Ketidakpeduliaan masyarakat untuk melanjutkan dalam
melestarikan makanan yang diwariskan oleh nenek moyang sulit berkembang dan mulai
termakan zaman. Untuk itu di sini perlu adanya kesadaran diri dari masyarakat
tentang pentingnya menjaga mkanan warisan dari leluhurnya. Salah satu daerah
yang memiliki makanan dan jajanan tradisional yang unik adalah Kabupaten Blora.
Selain barongannya yang terkenal Blora juga memiliki banyak makanan khas dari
sana.
Untuk itu peneliti di sini akan membahas
tentang pemakaian istilah-istilah makanan dan jajanan tradisional pada
masyarakat di Kabupaten Blora. Kajian linguistik yang digunakan adalah kajian
etnolinguistik, yaitu subdisiplin linguistik yang mempelajari bahasa dalam
Berdasarkan latar belakang masalah di atas,
permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.2.1
Bagaimana makna
leksikal dalam makanan dan jajanan tradisonal di Kabupaten Blora?
1.2.2
Bagaimana makna
kultural dalam makanan dan jajanan tradisional di Kabupaten Blora?
1.2.3
Bagaimana pola
pikir masyarakat Blora terhadap makanan dan jajanan tradisional di Kabupaten
Blora?
1.3.1
Menjelaskan makna
leksikal dalam makanan dan jajanan tradisonal di Kabupaten Blora.
1.3.2
Memaparkan makna
kultural dalam makanan dan jajanan tradisional di Kabupaten Blora.
1.3.3
Mendeskripsikan pola pikir masyarakat Blora
terhadap makanan dan jajanan tradisional di Kabupaten Blora
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis :
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini dapat memberikan
kontribusi di bidang akademik yaitu bahasa Jawa khususnya di bidang
etnolinguistik yang berkaitan dengan berbagai bidang yang dikaji dalam konteks
social dan budayanya.
b. Serta dapat mengetahui makanan dan
jajanan tradisional masyarakat Jawa yang beraneka ragam serta mempunyai nilai
kehidupan yang sangat bermanfaat bagi manusia.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi masyarakat, khususnya masyarakat
Jawa dapat memahami istilah-istilah makanan dalam Masyarakat Blora.
b. Bagi pengajar bahasa, dapat menambah
pengetahuan tentang pemakaian bahasa Jawa dan menambah pengetahuan tentang
budaya Jawa.
c. Bagi pelajar, dapat menambah
pengetahuan tentang bahasa Jawa dan kebudayaan atau tradisi masyarakat Jawa
serta dapat menjadikan sumber rujukan untuk penelitian selanjutnya yang
sejenis.
BAB
III
Konsep-konsep
teoretis yang berkaitan dengan penelitian adalah landasan atau dasar yang
relevan dengan pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Landasan
teori digunakan sebagai kerangka pikir untuk mengkaji permasalahan dan bekal
untuk menganalisis objek kajian.
Penelitian yang sama
tentang makanan yaitu pada jurnal ilmiah yang berjudul “Penggunaan Istilah
Makanan dan Jajanan Tradisional Pada Masyarakat di Kabupaten Banyuwangi (Sebuah
Kajian Etnolinguistik)” dari Arum Kusumaningtyas Universitas Jember yang
membahas tentang penggunaan istilah makanan dan
jajanan tradisional pada masyarakat di Kabupaten Banyuwangi ada yang berbentuk
kata dan frasa yang semuanya mempunyai makna. Perbedaan dalam penelitian ini
adalah dalam penelitian ini peneliti menambahkan pola pikir masyarakat Blora
terhadap makanan atau jajanan tradisional yang ada di daerah Blora.
2.2
Pengertian tentang Istilah
Menurut Harimukti Kridalaksana (2001:
86) istilah adalah kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan
konsep, proses, keadaan atau sifat yang khas dalam bidang tertentu.
Istilah mempunyai beberapa ciri-ciri
sebagai unsur bahasa. Ciri-ciri istilah mempunyai dua aspek yaitu ungkapan
istilah dan makna istilah.
a)
Dari segi ungkapan
1)
Istilah ini dapat berupa kata benda, kata kerja, atau kata sifat.
2)
Bangun istilah dapat berupa kata tunggal, kata majemuk, kata bersambung, kata
ulang, dan frasa.
b)
Dari segi makna
Istilah itu secara gramatikal bebas
konteks artinya makna tidak tergantung pada konteks kalimat tetapi dipandang
dari bidang kehidupan yang memakainya (Sri Soekesi Adiwimarta dkk, 1994: 32)
Dalam Kamus Linguistik (2001: 132)
dijelaskan bahwa makna (meaning, linguistik meaning, sense) adalah maksud
pembicara, pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau perilaku
manusia atau kelompok manusia, hubungan dalam arti kesepadanan atau
ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di luar bahasa atau antara ujaran dan
semua hal yang ditunjuknya, cara menggunakan lambang-lambang.
Grice menyatakan bahwa makna adalah
hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati oleh para
pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti (dalam Aminudin, 2001: 53). Lyons
menyebutkan bahwa mengkaji atau memberi makna suatu kata ialah memahami kajian
kata tersebut yang berkenaan dengan hubungan-hubungan makna yang membuat kata
tersebut berbeda dari kata-kata lain (dalam Fatimah Djajasudarma, 1999: 5).
Makna dalam hal ini menyangkut makna
leksikal, gramatikal, dan makna kultural dalam masyarakat tertentu. Makna
leksikal (lexical meaning, semantic meaning: bahasa Inggris) adalah makna
unsur- unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa dan lain-lain; makna
leksikal ini dipunyai unsur-unsur bahasa lepas dari penggunaannya atau
konteksnya (Harimukti Kridalaksana, 2001: 133) . Makna leksikal ini memiliki
unsur-unsur bahasa tersendiri terlepas dari konteks (Fatimah Djajasudarma,
1999: 13). Pengertian makna leksikal dalam penelitian ini tidak terbatas pada
tataran kata tetapi juga dalam tataran frasa, klausa, maupun kalimat. Makna
leksikal merupakan makna kata yang berdiri sendiri tanpa adanya imbuhan atau
turunan. Makna gramatikal (grammatical meaning, functional meaning, structural meaning,
internal meaning) adalah hubungan antara unsur-unsur bahasa dalam satuan-satuan
yang lebih besar misal hubungan antara kata dengan kata lain dalam frase atau
klausa (Harimukti Kridalaksana, 2001: 132).
Dalam pembentukan istilah dalam bahasa
dapat dilakukan dengan dua bentuk yaitu bentuk kata berupa bentuk dasar dan
bentuk terikat yang secara morfologis digolongkan dalam bentuk monomorfemis dan
polimorfemis.
1.
Monomorfemis
Proses morfologis adalah cara
pembentukan kata-kata dengan menghubungkan morfem yang satu dengan morfem yang
lain. Dengan kata lain gabungan morfem-morfem akan membentuk kata (Samsuri,
1987: 190)
Kata bermorfem satu disebut kata
monomorfemis dengan ciri-ciri dapat berdiri sendiri, mempunyai makna dan
berkategori jelas. Sedangkan kata bermorfem lebih dari satu disebut
polimorfemis. Menurut Harimukti Kridalaksana monomorfemis (monomorphemic)
terjadi dari satu morfem, morfem (morphemic) merupakan bahasa terkecil yang
maknanya secara relatif stabil dan yang tidak dibagi atas bagian yang lebih
kecil misalnya (ter-) (di-). Monomorfemis adalah terdiri atas satu morfem saja
(Verhaar, 2004: 97).
2.
Polimorfemis
Polimorfemis adalah terdiri atas lebih
dari satu morfem (Verhaar, 2004: 97). Polimorfemis dibentuk melalui beberapa
proses morfemis yaitu afiksasi (imbuhan), reduplikasi (pengulangan), dan
pemajemukan/komposisi.
a. Afiksasi (imbuhan)
Afiksasi adalah proses perangkaian afiks pada bentuk dasar.
(Wedhawati, 2006: 40). Afiks adalah suatu satuan gramatik terikat yang di dalam
suku kata merupakan unsur yang bukan kata dan bukan pokok kata yang memiliki
kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk kata atau pokok
kata yang baru. (Ramlan,1987: 55). Setiap afiks tentu berupa satuan terikat,
artinya dalam tuturan biasa tidak dapat berdiri sendiri dan secara gramatik
selalu melekat pada satuan lain. Afiks atau lebih dikenal dengan imbuhan ada
empat macam. Pembedaan itu didasarkan pada macam afiks yang dilekatkan pada
bentuk dasar.
b. Reduplikasi (pengulangan)
Reduplikasi adalah proses morfemis yang
mengulangi bentuk dasar atau sebagiannya dari bentuk dasar tersebut. (Verhaar,
2004: 152). Reduplikasi adalah pengulangan satuan gramatik, baik seluruhnya
maupun sebagiannya, baik dengan variasi fonem maupun tidak. (Ramlan, 1987: 63).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa reduplikasi adalah pengulangan bentuk dasar
atau sebagian bentuk dasar satuan gramatikal.
c.
Pemajemukan/komposisi
Kata majemuk adalah gabungan morfem
dasar yang seluruhnya berstatus sebagai kata yang mempunyai pola fonologis,
gramatikal, dan semantik yang khusus menurut kaidah bahasa yang bersangkutan,
pola khusus tersebut membedakannya dari gabungan morfem dasar yang bukan kata
majemuk. (Harimukti Kridalaksana, 2001: 99). Komposisi atau pemajemukan adalah
proses morfemis yang menggabungkan dua morfem dasar (pradasar) menjadi satu
kata, namanya kata majemuk. (Verhaar, 2004: 154)
3.
Frasa
Frasa adalah satuan gramatik yang
terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur
klausa. (Ramlan, 2001: 138). Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang
sifatnya tidak predikatif; gabungan itu dapat rapat dapat renggang.
(Kridalaksana, 2001: 59).
a.
Pendekatan Etnolinguistik
Penelitian
mengenai makna istilah-istilah makanan dan jajanan tradisonal Kabupaten Blora
menggunakan kajian Etnolinguistik. Etnolinguistik adalah cabang dari linguistik
yang menyelidiki tentang hubungan antara bahasa dan masyarakat yang belum
mengenal tulisan; cabang linguistik antropologi yang menyelidiki hubungan
bahasa dan sikap bahasawan terhadap bahasa; salah satu aspek etnolinguistik
yang sangat menonjol adalah masalah relativitas bahasa (Kridalaksana, 1982:
42).
Istilah
etnolinguistik berasal dari perpaduan antara etnologi dengan linguistik,
sehingga kajian etnolinguistik sangat penting untuk mengetahui hubungan
kebudayaan dengan masalah bahasa, serta bagaimana kebudayaan yang terbentuk
tersebut secara terus-menerus mengalami perubahan. Kelahiran etnolinguistik
sangat erat berkaitan dengan hipotesis Sapir-Whorf. Hipotesis Sapir-Whorf disebut
dengan relativisme bahasa (language relativism) dari pikiran Boas (Sampson
dalam laporan penelitian D.Edi Subroto.dkk, 2003: 6). Hipotesis tersebut
menyatakan bahwa bahasa manusia membentuk atau mempengaruhi persepsi manusia
akan realitas lingkungannya atau bahasa manusia mempengaruhi lingkungan dalam
memproses dan membuat kategori-kategori realitas di sekitarnya (Sampson dalam
laporan penelitian D.Edi Subroto.dkk, 2003: 6).
Penelitian
etnolinguistik ini pada awal mulanya dipelopori oleh antropolog yang berasal
dari Inggris, yaitu Bronislaw Malinowski. Peneliti lapangan tersebut tinggal
bersama dengan orang-orang yang menetap di kawasan Pasifik atau yang dikenal
dengan orang Trobiand selama kurang lebih dua tahun. Dia sengaja menetap dengan
kalangan Trobiand dan juga belajar bahasa mereka agar dapat berkomunikasi
dengan mereka dan mengetahui budaya yang berlaku dan dapat memahami cara
pandang hidup mereka dengan lebih baik. Tradisi penelitian semacam ini akhinya
berkembang dan seterusnya menjadi bagian terpenting dalam ilmu antropologi.
Sehingga apabila seorang ingin menjadi seorang antropolog profesional maka
mereka dituntut untuk dapat memahami dan menguasai bahasa tempat mereka
melakukan penelitian.
Etnolinguistik
adalah cabang dari ilmu linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa
dengan sikap dan pandangan masyarakat (Shri Ahimsa Putra, 1997: 4). Istilah
etnolinguistik berasal dari kata ‘etnologi’ dan ‘linguistik’, yang lahir karena
adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh para ahli
etnologi (kini : antropologi budaya) dengan pendekatan linguistik dalam studi
semacam ini sebenarnya terjadi timbal balik yang menguntungkan antara disiplin
etnologi, yakni (a) kajian linguistik yang memberikan sumbangan bagi etnologi
dan (b) kajian etnologi yang memberikan sumbangan bagi linguistik (Shri Ahimsa
Putra, 1997: 3).
Ketika
tradisi penelitian mulai berkembang dan semakin pesat, minat yang ditumbuhkan
oleh Boas untuk meneliti dengan seksama sejarah suku-suku bangsa dan aneka
ragam jenis bahasa mereka, kemudian oleh beberapa orang muridnya termasuk di
dalamnya Edward Sapir mengembangkan tradisi penelitian tersebut. Sebagai salah
satu perintis berdiriya studi Etnolinguistik dalam Antropologi, Sapir mulai
membuka persoalan baru dalam studi etnolinguistik yaitu mengenai hubungan
antara bahasa dan kebudayaan. Pandangan tersebut mulai dikembangkan oleh salah
satu muridnya yaitu Benjamin Lee Whorf (Shri Ahimsa Putra, 1997: 1-2). Sapir
sendiri adalah seorang ahli dalam bidang antropologi yang menaruh minat besar
pada masalah-masalah kebudayaan.
Dari
sinilah awal mula studi perbandingan bahasa melahirkan barbagai macam pandangan
Sapir tentang hubungan antara bahasa dengan kebudayaan.
Pandangan-pandangan
inilah yang terutama mengenai bahasa dan cara pandang manusia, yang dikembangan
lebih lanjut oleh muridnya yang berpendapat bahwa berbagai macam peristiwa
sebenarnya sangatlah dipengaruhi oleh bahasa yang digunakan.
Oleh
karena itu, walaupun istilah etnolinguistik dapat dikatakan tidak lagi populer,
namun tetap dapat digunakan, dan masih lebih menguntungkan menggunakan istilah
etnolinguistik dari pada istilah baru yang sebenarnya sudah lebih spesifik
(Shri Ahimsa Putra, 1997: 2-3).
b. Pengertian Etnolinguistik
Harimurti
Kridalaksana (1982: 42) mengemukakan bahwa etnolinguistik adalah cabang ilmu
linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau
masyarakat yang belum mempunyai tulisan bidang ini juga disebut linguistik
antropologi dan cabang ilmu linguistik antropologi yang menyelidiki hubungan
bahasa dan sikap bahasawan terhadap bahasa, salah satu aspek etnolinguistik
yang sangat menonjol ialah masalah relatifitas bahasa.
Etnolinguistik
(etnolinguistic) adalah ilmu yang meneliti seluk beluk hubungan aneka
pemakaian bahasa dengan pola kebudayaan (Sudaryanto, 1996:7). Sedangkan menurut
pendapat dari Shri Ahimsa Putra (1997: 3) istilah ‘etnolinguistik’ berasal dari
kata ‘etnologi’ dan ‘linguistik’, yan lahir karena adanya penggabungan antara
pendekatan yang biasa dilakukan oleh para ahli etnologi (kini: antropologi
budaya) dengan pendekatan linguistik.
Sedangkan
relatifitas bahasa menurut Harimurti Kridalaksana (1982: 145) adalah salah satu
pandangan bahwa bahasa seseorang menentukan pandangan dunianya melalui kategori
gramatikal dan klarifikasi semantik yang ada dalam bahasa itu dan yang dikreasi
bersama kebudayaannya.
Dalam
hal semacam ini sebenarnya ada suatu timbal-balik antara disiplin linguistik
dengan disiplin etnologi yang sama-sama saling memberi sumbangan bagi keduanya.dengan
adanya pengabungan pendekaan, maka kajian etnolinguistik dapat dibagi menjadi
dua macam yaitu kajian linguistik yang memberikan sumbangan bagi etnologi dan
sebaliknya kajian etnologi member sumbangan terhadap linguistik.
Metode Penelitian merupakan cara,
alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam melakukan penelitian. Metode
adalah cara untuk mengamati atau menganalisis suatu fenomena, sedangkan metode
penelitian mencakup kesatuan dan serangkaian proses penentuan kerangka pikiran,
perumusan masalah, penentuan sampel data, teknik pengumpulan data, dan analisis
data (Edi Subroto, 1992:31)
Metode penelitian ini akan
membicarakan mengenai 1) sifat penelitian; 2). Lokasi peneliyian; 3). Data dan
sumber data; 4) alat penelitian’ 5). Metode pengumpulan data; 6). Metode
analisis data; 7). Metode penyajian hasil analisis data.
- Conn Barracks Menyelusuri Jejak Militer dan Sejarah di Jerman
- Ramayana: Epik Klasik dan Watak Pewayangan Beserta Silsilah Keluarga
- Rantaman Adicara Ijab Kabul
- Pengertian Cerita Pendek dan Ciri-cirinya
- Becak dan Jamu Bertemu dalam Rindu
- MAKALAH CARA MENGATASI KEKURANGAN AIR TANAH DI BLORA
- Asal-Usul Kyai Balun Kota Cepu (menurut beberapa versi) dalam Bahasa Jawa
Sifat penelitian ini adalah deskriptif
yang dilakukan semata-mata berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena
empiris hidup pada penutur-penuturnya. Sehingga menghasilkan catatan berupa
pemberian bahasa dan sifatnya seperti potret (Sudaryanto, 1993: 62).
Deskriptif adalah metode yang bertujuan
membuat deskripsi, maksudnya membuat gambaran lukisan secara sistematiis,
factual, dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta hubungan fenomena-fenomena
yang diteliti (Fatimah Djajasudarma, 1993:88). Penelitian kualitatif adalah
tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan social yang secara fundamental
bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan
dengan masyarakat tersebut melalui bahasanya serta peristilahan (Fatimah
Djajasudarma, 1993:10). Dalam Penelitian ini data yang terkumpul berbentuk
kata-kata, analisis dan hasil laporan analisis menggunakan kata-kata pula.
Lokasi penelitian adalah tempat atau
objek penelitian. Lokasi penelitian ini ada di daerah Kabupaten Blora. Peneliti
mengambil lokasi ini sebagai objek penelitian, karena merupakan tempat tinggal
asli peneliti, sehingga dalam menulis penelitian ini peneliti tidak perlu
bingung-bingung pergi mencari ke sebuah tempat, sebab Peneliti sudah pernah
membeli dan merasakan masakan khas dari Kabupaten Blora.
Data
adalah bahan penelitian (Sudaryanto, 1993:3). Data dalam penelitian ini berupa
data lisan dan tulis. Data dalam penelitian ini berupa istilah-istilah makanan
dan jajanan tradisional di Kabupaten Blora. Sumber data lisan berasal dari informan
yang memang asli atau berasal dari Kabupaten Blora. Setidaknya ada 10 orang
yang diwawancarai mengenai makanan dan jajanan khas sana. Untuk data tulis
peneliti menggunakan internet sebagai referensi tambahan selain data lisan.
Pemahaman
mengenai berbagai macam sumber data merupakan bagian yang sangat penting bagi
peneliti, karena ketepatan memilih dan menentukan jenis sumber data akan menentukan ketepatan
dan kekayaan data atau in formasi yang diperoleh.
Alat penelitian meliputi alat utama dan
alat bantu. Disebut alat utama karena merupakan alat paling dominan dalam
penelitian yaitu peneliti sendiri, sedangkan alat bantu yaitu alat yang berguna
untuk memperlancar penelitian seperti alat tulis, buku catatan, kamera,
computer, dan alat-alat lain yang menunjang dalam menyelesaikan penelitian ini.
Metode merupakan cara mendekati,
mengamati, menganalisis gejala yang ada (Harimurti, 1983:106). Sehubungan
dengan jenis instrument dan jenis data yang dikumpulkan maka yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode simak. Metode simak yaitu dengan menyimak pembicaraan
dengan mewawancarai informan yang sudah dipilih dan mengerti mengenai makanan
dan jajanan tradisional khas Kabupaten Blora. Kemudian peneliti menggunakan
teknik lanjutan yaitu teknik rekam dan teknik catat. Dalam hal ini peneliti
merekam semua kata-kata yang muncul dari informan dan mencatat data yang telah
direkam. Dari hasil wawancara tersebut, kemudian peneliti mencari data
sebanyak-banyaknya. Lalu peneliti memilah dan memilih data yang dibutuhkan.
Apabila data sudah terkumpul kemudian dianalisis dengan cara diklasifikasikan
berdasarkan bentuk, makna dan penggunannya.)
Metode
selanjutnya adalah metode deskriptif analisis, yaitu metode penelitian yang
berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya
(Aries, 2010:25). Dalam penelitian ini, metode tersebut dilakukan dengan
mendeskripsikan istilah-istilah makanan dan jajanan tradisonal khas Blora.
Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode padan
ekstralingual. Hal ini dikarenakan, peneliti menghubungkan bahasa dengan hal
yang di luar bahasa, yaitu budaya.
3.7
Metode penyajian hasil analisis data
Metode penyajian hasil analisis data
menggunakan metode deskriptif, formal, dan informal. Metode deskriptif adalah
metode yang semata-mata hanya berdasarkan fakta-fakta yang ada atau
fenomena-fenomena secara empiris hidup pada penutur-penuturnya (Sudaryanto,
1993:63)
Metode informal, yaitu penyajian hasil
analisis data yang menggunakan kata-kata biasa atau sederhana agar mudah
dipahami. Analisis metode informal dalam penelitian ini agar mempermudah
pemahaman terhadap setiap hasil penelitian. Metode formal yaitu metode
penelitian data dengan menggunakan dokumen tentang data yang dipergunakan sebagai
lampiran. Lampiran tersebut dapat berupa gambar-gambar, bagan, table, grafik,
dan sebagainya. Dalam penelitian ini menggunakan lampiran gambar yaitu gambar
dokumentasi foto.
Sehubungan dengan permasalahan yang ada pada
penelitian ini, maka analisis data yang akan dibicarakan ada dua hal yaitu
mengenai istilah-istilah makanan dan jajanan tradisional, yaitu bentk makna
leksikal, makna kultural, dan pola pikir masyarakat terhadap makanan dan
jajanan tradisional di Kabupaten Blora.
4.1
Bentuk Istilah-istilah Makanan dan Jajanan Tradisional Kabupaten
Blora
4.1.1
Monomorfemis
Monomorfemis mencakup semua kata
dasar bentuk tunggal dalam istilah-istilah makanan dan jajanan tradisonal di
masyrakat Blora. Menurut Harimukti Kridalaksana monomorfemis terjadi dari satu
morfem. Morfem merupakan bahasa terkecil
yang maknanya secara relative stabil dan tidak dibagi atas bagian yang lebih
kecil misalnya (ter-) (di). Adapun dalam penelitian ini yang termasuk bentuk
monomorfemis adalah sebagi berikut :
a.
Dumbeg {dumbəg}
Dumbeg
berkategori nomina
Dumbeg
merupakan salah satu kue yang berbahan dasar dari tepung terigu dan berbentuk
kerucut.
b.
Manco {manco}
Manco
berkategori nomina.
Manco
merupakan salah satu makanan khas dari Blora yang berbahan dasar tepung ketan.
c.
Gandhos {ganḍos}
Gandhos
berkategori nomina.
Gandhos adalah
salah satu makanan yang berasal dari Todanan, yang berbahan dasar dari beras
ketan.
d.
Lembarang {ləmbaraŋ}
Lembarang
berkategori nomina.
Lembarang
merupakan makanan khas Blora, yang terbuat dari nangka muda dan biasanya
dicampur dengan ayam.
e.
Thathakriyak {ṭaṭariya?}
Thathakriyak berkategori nomina.
Thathakriyak berbahan dasar dari
singkong, biasanya banyak dijual di Pasar Tradisional Todanan.
f.
Pasung {pasUŋ}
Pasung
berkategori nomina.
Pasung
merupakan salah satu jajanan tradisional di Blora yang biasanya disediakan saat
ada hajat, seperti khitanan, atau selametan.
g.
Grontol {gronṭol}
Grontol
berkategori nomina.
Grontol merupakan
makanan khas Blora, yang bahan utamanya adalah Jagung.
h.
Gemblong {gəmbloŋ}
Gemblong
berkategori nomina.
Gemblong merupakan
jajanan tradisonal khas Blora yang berbahan dasar singkong.
4.1.2
Polimorfemis
Polimorfemis terdiri atas lebih dari
satu morfem (Verhaar, 2004:97). Polimorfemis dibentuk melalui beberapa proses
morfem yaitu afiksasi (imbuhan) dan pemajemukan /komponen.
a. Untir-untir {untir-untir}
Untir-untir merupakan bentuk polimorfemis berupa
pengulangan keseluruhan atau reduplikasi utuh yang dibentuk dari bentuk dasar untir
yang berarti “peluntir”. Makanan ini memang dibentuk dengan cara dipeluntir.
b.
Egg roll {egg
roll}
Egg “telur” + Roll “gulung” = Egg roll
Egg roll merupakan
proses pemajemukan dari dua kata, kedua kata itu merupakan kata pokok, sehingga
hadir makna baru yaitu egg roll,
salah satu makanan khas Cepu yang berbahan dasar waluh atau ketela pohon.
c.
Soto klethuk {soto kləṭu?}
Soto “soto” +
klethuk “suara yang muncul dari makanan keras saat dimakan”
Egg roll merupakan
proses pemajemukan dari dua kata, kedua kata itu merupakan kata pokok, sehingga
hadir makna baru yaitu Soto klethuk,
salah satu makanan khas dari kota Blora yang menggunakan topping singkong.
4.1.3
Frase
Frase
adalah satuan gramatikal yang terdiri dua atau lebih dari kata yang tidak
berciri klausa dan yang pada umumnya menjadi pembentuk klausa (Djoko Kentjono,
1982:57)
a. Oseng-oseng enthung {Oseŋ-oseŋ ənṭUŋ}
Oseng-oseng enthung berkategori nomina.
Oseng-oseng entung adalah salah satu
kuliner ekstream Blora yang dibuat dengan cara “Oseng-oseng” dan berbahan dasar
“enthung”. Lepet Jagung dari merupakan
frase endosentris yang koordinatif. Kesetaraan frase oseng-oseng enthung dapat dibuktikan oleh unsur-unsur unsur itu
dihubungkan dengan kata dan atau atau.
b. Lepet jagung
{ləpət jagUŋ}
Lepet jagung adalah salah satu
jajanan Blora dengan bahannya menggunakan “lepet” yang biasanya dibuat dengan
ketan dan “jagung”. Lepet Jagung merupakan frase endosentris yang koordinatif. Kesetaraan
frase lepet jagung dapat dibuktikan oleh unsure-unsur itu dihubungkan dengan
kata dan atau atau. Frase lepet jagung termasuk golongan frase nomina lepet
sebagai unsur pusat diikuti frase nomina jagung. Lepet N+ jagung N= FN
c. Tahu lontong
{tahu lontoŋ}
Tahu lontong merupakan
salah satu makanan khas Kabupaten Blora yang berbahan dasar “Tahu” dan
“Lontong”. Tahu lontong termasuk
frase endosentris yang koordinatif., kesetaraan tahu lontong dapat dibuktikan oleh unsure-unsur itu dihubungkan
dengan kata dan atau atau. frase tahu
lontong merupakan golongan frase nomina tahu sebagai unsure pusat diikuti
frase nomina lontong. Tahu N+Lontong N = FN
4.2
Makna Istilah Makanan dan Jajanan Tradisional
Dalam penelitian makanan dan
jajanan tradisional di Kabupaten Blora, terdapat makna leksikal dan makna kultural.
Makna leksikal merupakan makna dasar dari istilah tersebut, sedangkan makna
kultiural yaitu makna yang dimiliki masyarakat yang berhubungan dengan
kebudayaan.
4.2.1
Makna Leksikal
a.
Dumbeg
Makna leksikal dari dumbeg adalah merupakan makanan khas dari Blora. Dengan bahan utama
tepung terigu dan air kapur sirih, lalu santan, gula pasir, garam direbus
hingga mendidih, lalu angkat, biarkan beberapa menit. Campurkan tepung dengan
air kapur sirih. Buat contong berbentuk kerucut dengan daun lontar. Isi dengan
adonan, kemudian kukus hingga matang.
b.
Manco {manco}
Makna leksikal dari manco
adalah Jajanan manco atau ada yang
menyebutnya peli kipu adalah jajanan yang terbuat dari ketan yang diolah dengan
proses digoreng. Jajanan ini beredar dengan beberapa bentuk dan bahan,
yaitu ada yang menggunakan Wijen sebagai kulitnya ada juga yang menggunakan ketan.
Atau yang lebih unik lagi dengan memakai “Karuk “. Karuk yaitu nasi yang
di keringkan (Karak) kemudian di goreng. Jajanan ini lebih nikmat kalau dimakan
ketika hangat,
c.
Gandhos {ganḍos}
Makna leksikal dari gandhos
adalah makanan yang dibuat dari tepung ketan lalu dicampurkan kelapa muda
dengan tambahan garam dan gula sesuai
selera, setelah itu digoreng.
d.
Lembarang {ləmbaraŋ}
Makna leksikal dari lembarang
adalah makanan khas dari Kabupaten Blora, tepatnya di Kecamatan Ngawen, yang
dibuat dari nangka muda, dan ayam. Dimasak dengan menggunakan santan dicampur
dengan bumbu rempah, seperti cabe, bawang merah, bawang putih, laos, dsbg.
e.
Thathakriyak {ṭaṭakriya?}
Makna leksikal dari thathakriyak adalah singkong diiris kecil-kecil
lalu dikukus. Setelah dikukus dijemur pada matahari. Dan digoreng, setelah itu
diberi garam atau gula sesuai selera.
f.
Pasung {pasUŋ}
Makna leksikal dari pasung
adalah tepung beras dicampur dengan tape yang terbuat dari singkong, gula, dikukus,
diwadahi daun pisang.
g.
Grontol {gronṭol}
Makna leksikal dari grontol
adalah terbuat dari jagung digodhog dengan injet jika sudah matang di
bersihakan hingga bersih, jika sudah bersih digodhog lagi sampai jagung
tersebut mekar. Setelah itu ditaburi kelapa.
h.
Gemblong {gəmbloŋ}
Makna leksikal dari gemblong
adalah terbuat dari singkong dikukus, jika sudah matang ditumbuk, lalu diberi
garam sedikit. Lalu diberi kelapa.
i.
Untir-untir {untir-untir}
Makna leksikal dari untir-untir
adalah makanan yang berbahan dasar dari tepung terigu, telur, garam, gula,
setelah itu dibentuk dengan cara dipeluntir, seperti bentuk ular yang yang
melingkar lalu digoreng.
j.
Oseng-oseng enthung {Oseŋ-oseŋ ənṭUŋ}
Makna leksikal dari oseng-oseng entung adalah makanan khas Blora dengan
berbahan dasar enthung atau kepompong jati yang dibiasaya dibuat oseng-oseng
dengan bumbu cabe, bawang merah, bawang putih, tomat, daun salam.
k.
Lepet jagung {ləpət jagUŋ}
Makna leksikal dari lepet jagung adalah jagung dan beras ketan dikasih
kelapa, dan garam lalu dibuntel didaun jagung, lalu dikukus.
l.
Tahu lontong {tahu lontoŋ}
Makna leksikal dari tahu lontong
adalah makanan yang berbahan dasar tahu dan lontong, sambelnya menggunakan
sambel kacang. Yang berbeda dari yang lainnya tahu lontong adalah setelah tahunya digoreng,
m.
Egg roll {egg
roll}
Makna leksikal dari egg roll
adalah jajanan khas dari Blora yang berbahan dasar waluh atau ketela yang
dibentuk seperti tabung dan di panggang.
n.
Soto klethuk {soto kləṭu?}
Makna leksikal dari soto klethuk adalah salah satu makanan khas dari Blora yang
berbahan bawang merah, bawang putih, serai, daun salam, pala, seledri, tauge
pendek, soon, suwiran ayam, dan yang paling menarik adalah singkong dipotong
kecil-kecil lalu digoreng dan ditaburkan pada soto.
4.2.2
Makna Kultural
a. Gandhos {ganḍos}
Makna kultural dari gandhos menurut masyarakat Blora dinamakan demikian karena, dalam
proses pembuatan gandhos tersebut pada saat digoreng makanan tersebut akan
bermekaran. Bahasa di sana disebut mlendhos-mlendhos, sehingga dinamakan Gandhos. Makanan ini banyak ditemukan di
Todanan.
b. Thathakriyak {ṭaṭariya?}
Makna kultural menurut masyarakat Blora dinamakan
thathakriyak karena saat orang makan thathakriyak, biasanya akan berbunyi
kriyak-kriyak. Sehingga makanan ini dinamakan thathakriyak. Makanan ini paling
banyak di daerah Todanan yang masih di Kabupaten Blora.
c. Untir-untir {untir-untir}
Makna kultural dari untir-untir menurut masyarakat Blora adalah dinamakan untir-untir karena dalam pembuatannya
dengan cara diuntir-untir, sehingga
dinamakan untir-untir. Untir-untir
itu sendiri dalambahasa Indonesia disebut peluntir. Makanan ini mudah sekali
dibuat, sehingga di daerah Kabupaten Blora banyak dijual di toko-toko.
d.
Soto klethuk {soto kləṭu?}
Makna kultural dari Soto klethuk
menurut masyarakat Blora adalah kenapa terdapat embel-embel klethuk karena di
situ ada potongan singkong kecil-kecil dan dicampur di dalam Soto, saat dimakan
berbunyi klethuk-klethuk sehingga
masyarakat sana menyebutnya Soto klethuk.
Soto klethuk saat ini lebih banyak
ditemui di Kota Bloranya sendiri. Untuk di daerah selain Blora cenderung tidak
ada.
4.3
Pola Pikir Masyarakat Blora
Pada
umumnya masyarakat Blora tidak terlalu memikirkan tentang makanan khas daerah
Blora. Makanan yang disebutkan cenderung umum di beberapa Kabupaten dan Kota.
Walaupun beberapa masyarakat di sana tidak memperdulikan makanan khas di sana
tetapi ada beberapa masyarakat Blora yang mengetahui makanan khas Kabupaten
Blora,
Di
Kabupaten Blora makanan setiap daerah berbeda-beda, itu bergantung dengan sumber
daya yang tersedia. Semisal di daerah Blora dan Cepu, banyak yang jual enthung (kepompong jati) karena di
daerah sana banyak sekali hutan jati, apalagi enthung di sana sangat mahal, tak
pelak banyak orang yang berasal dari luar kota yang berdatangan ke Blora untuk
membeli enthung karena enthung hanya ada pada musim penghujan
saja. Lalu di daerah seperti Randublatung, Ngawen, Todanan, akan banyak ditemui
makanan yang berasal dari umbi-umbian dan beras, karena di sana banyak sekali
lahan pertanian.
Pola
pikir masyarakat Blora selalu dikaitkan dengan alam. Setiap makanan khasnya
selalu dibuat dengan memanfaatkan kekayaan alam yang berada di Kabupaten Blora,
seperti contoh oseng-oseng enthung, egg roll waluh, dan berbagai makanan
yang dibuat dari singkong. Dari kondisi geografis masyarakat blora,
masyarakatnya yang bekerja sebagai petani cukup banyak sehingga sudah tentu
makanan yang dibuat tidak jauh dari apa yang ditanam.
Untuk
jaman sekarang karena kecanggihan teknologi dan banyaknya media sosial, seperti
twitter, facebook, instragram, dan lain sebagainya, banyak anak muda sekarang
yang mengenal dan peduli tentang makanan khas Blora, mereka biasanya mengupload
foto makanan dan dipamerkan di media social. Namun sayang, hanya makanan yang
terkenal saja yang mereka ketahui di Kota Blora, contohnya soto klethuk, sate ayam blora, dan tahu lontong. Untuk makanan yang biasanya disebut makanan desa khas
daerahnya , rata-rata anak muda tidak ada yang tahu namanya. Kebanyakan orang
yang lebih tua yang mengetahuinya. Sehingga di sini anak-anak perlu sekali
diperkenalkan makanan khas daerahnya sendiri.
Berdasarkan analisis data yang telah
dilakukan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa penggunaan istilah makanan dan
jajanan tradisional di Kabupaten Blora ada yang berbentuk kata dan frase.
Bentuk monomorfemis ada 8 makanan yaitu Dumbeg,
Manco, Gandhos, Lembarang, Thathakriyak, Pasung, Grontol, dan Gemblong.
Untuk bentuk polimorfemis hanya ada 3 yaitu untir-untir,
egg roll, dan soto klethuk. Dan untuk frase ada 3 makanan yaitu, Oseng-oseng enthung, Lepet jagung, dan
Tahu lontong.
Makanan dan jajanan tradisional Blora
ternyata ada juga yang mengandung makna kultural atau makna budaya yang dibuat
oleh masyarakat di sana di antaranya adalah Gandhos,
Thathakriyak, Untir-untir, dan Soto klethuk.
Pola pikir masyarakat Blora selalu dikaitkan
dengan alam. Setiap makanan khasnya selalu dibuat dengan memanfaatkan kekayaan
alam yang berada di Kabupaten Blora.
Aminudin.
2001. Semantik : Pengantar Studi tentang Makna. Malang : CV Sinar Baru.
Edi Subroto, D. 1992. Pengantar Metode
Penelitian Struktural. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
_________.
2003. Laporan Penelitian : Kajian Etnolinguistik terhadap Paribasan, Bebasan,
Saloka, Pepindhan dan Sanepa. Surakarta : Sebelas Maret University Press.
Fatimah Djajasudarma. 1999. Semantik II
: Pemahaman Ilmu Makna. Bandung : Refika Aditama.
_________.
2006. Metoda Linguistik Ancangan Metode dan Kajian. Bandung : Refika Aditama.
Harimurti
Kridalaksana. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
J.
W. M. Verhaar. 2004. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta : UGM Press.
Ramlan. 1987. Ilmu
Bahasa Indonesia: Morfologi suatu tinjauan deskriptif. Yogyakarta: CV. Karyono.
_________.
1990. Ilmu Bahasa Indonesia Sintaksis. Yogyakarta: CV. Karyono.
Shri
Ahimsa Putra.1997. Etnolinguistik : Beberapa Bentuk Kajian. Makalah Temu Ilmah
dan Sastra Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudataan Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Balai Penelitian Bahasa.
Samsuri.
1987. Analisis bahasa memahami bahasa secara ilmiah. Erlangga: Jakarta.
Sri
Soekesi Adiwimarta dkk. 1994. Tata Istilah Indonesia. Jakarta : Depdikbud.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Teknik
Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistik.
Yogyakarta: Duta Wacana.
Posting Komentar untuk "PENGGUNAAN ISTILAH MAKANAN DAN JAJANAN TRADISIONAL DI KABUPATEN BLORA (KAJIAN ETNOLINGUISTIK)"
Berkomentarlah dengan baik dan dengan menggunakan kata-kata yang sopan.