Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

PENGGUNAAN ISTILAH MAKANAN DAN JAJANAN TRADISIONAL DI KABUPATEN BLORA (KAJIAN ETNOLINGUISTIK)


LAPORAN OBSERVASI

PENGGUNAAN ISTILAH MAKANAN DAN JAJANAN TRADISIONAL DI KABUPATEN BLORA  (KAJIAN ETNOLINGUISTIK)

 

Disusun untuk memenuhi tugas Etnolinguistik

Dosen Pengampu      : Ibu Nur Fateah

 

Oleh

Evi Wijayanti (2601413061)

                                                                                                                                   

 

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA JAWA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2015


 

PRAKATA

 

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.   Makalah Ini Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Etnolinguistik. Pada Makalah Ini Penulis Membahas Tentang ”Penggunaan Istilah Makanan Dan Jajanan Tradisional Di Kabupaten Blora (Kajian Etnolinguistik). Dalam penulisan makalah ini, penulis mengalami romantika baik suka maupun duka. Kendala itu dapat penulis hadapi karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1.      Ibu Nur Fateah, selaku dosen pengampu Mata Kuliah Etnolinguistik.

2.      Orang tua yang telah memberikan dana dalam penulisan makalah ini.

3.      Teman-teman semua Mata Kuliah Etnolinguistik yang mendukung selama penulisan makalah ini.

4.      Segenap jajaran orang-orang masyarakat Blora yang telah berkenan dan mengiizinkan sebagai obyek observasi..

            Penulis menyadari masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk dijadikan bahan diskusi yang dapat membantu dalam proses belajar selanjutnya.

 

                                                                                                            Semarang,  Januari 2016

                                               

                                                                                                            Penulis


 

DAFTAR ISI

PRAKATA.. ii

DAFTAR ISI. iii

BAB I. 1

PENDAHULUAN.. 1

1.1      Latar Belakang. 1

1.2      Rumusan Masalah. 2

1.3      Tujuan Penelitian. 2

1.4      Manfaat Penelitian. 2

LANDASAN TEORI. 4

2.1      Penelitian yang Relevan. 4

2.2      Pengertian tentang Istilah. 4

2.3      Pengertian tentang Makna. 5

2.4      Pengertian tentang Bentuk. 6

2.5      Etnolinguistik. 7

BAB III. 11

METODE PENELITIAN.. 11

3.1      Sifat Penelitian. 11

3.2      Lokasi penelitian. 11

3.3      Data dan sumber data. 12

3.4      Alat penelitian. 12

3.5      Metode pengumpulan data. 12

3.6      Metode analisis data. 13

3.7      Metode penyajian hasil analisis data. 13

BAB IV.. 14

HASIL ANALISIS DATA.. 14

4.1      Bentuk Istilah-istilah Makanan dan Jajanan Tradisional Kabupaten Blora. 14

4.2      Makna Istilah Makanan dan Jajanan Tradisional 17

4.3      Pola Pikir Masyarakat Blora. 20

BAB V.. 21

PENUTUP. 21

5.1      Simpulan. 21

DAFTAR PUSTAKA.. 22


 


BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Siapa yang tak bingung jika disuruh menyebutkan makanan di Indonesia? Saking  banyaknya kuliner khas yang ada di Indonesia, kita sampai menggeleng-gelengkan kepala. Siapa yang tidak bangga menjadi warga Indonesia, begitu ragam kekayaannya. Mulai dari sabang sampai merauke memiliki makanan khas daerahnya sendiri. Bahkan makanan dari Indonesia yaitu rendang dari Padang menduduki sepuluh besar peringkat dunia karena kelezatannya.   

Namun sayang makanan dan jajanan tradisional pada zaman sekarang sulit sekali ditemukan, mungkin hanya ditemukan pada acara-acara tertentu saja. Justru sekarang banyak yang menjual makanan modern seperti pizza, sphageti, hot dog, dll. Penyebab makanan dan jajanan tradisional sekarang sulit ditemukan karena banyaknya generasi sekarang yang tidak bisa membuat makanan dan jajanan tradisional sehingga kalah bersaing dengan makanan modern yang sekarang banyak dibuat bisnis rumahan oleh masyarakat Indonesia.

Ketidakpeduliaan masyarakat untuk melanjutkan dalam melestarikan makanan yang diwariskan oleh nenek moyang sulit berkembang dan mulai termakan zaman. Untuk itu di sini perlu adanya kesadaran diri dari masyarakat tentang pentingnya menjaga mkanan warisan dari leluhurnya. Salah satu daerah yang memiliki makanan dan jajanan tradisional yang unik adalah Kabupaten Blora. Selain barongannya yang terkenal Blora juga memiliki banyak makanan khas dari sana.

Untuk itu peneliti di sini akan membahas tentang pemakaian istilah-istilah makanan dan jajanan tradisional pada masyarakat di Kabupaten Blora. Kajian linguistik yang digunakan adalah kajian etnolinguistik, yaitu subdisiplin linguistik yang mempelajari bahasa dalam

 

 

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

1.2.1        Bagaimana makna leksikal dalam makanan dan jajanan tradisonal di Kabupaten Blora?

1.2.2        Bagaimana makna kultural dalam makanan dan jajanan tradisional di Kabupaten Blora?

1.2.3        Bagaimana pola pikir masyarakat Blora terhadap makanan dan jajanan tradisional di Kabupaten Blora?

1.3  Tujuan Penelitian

1.3.1        Menjelaskan makna leksikal dalam makanan dan jajanan tradisonal di Kabupaten Blora.

1.3.2        Memaparkan makna kultural dalam makanan dan jajanan tradisional di Kabupaten Blora.

1.3.3         Mendeskripsikan pola pikir masyarakat Blora terhadap makanan dan jajanan tradisional di Kabupaten Blora

1.4  Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis :

1.      Manfaat Teoritis

a.       Penelitian ini dapat memberikan kontribusi di bidang akademik yaitu bahasa Jawa khususnya di bidang etnolinguistik yang berkaitan dengan berbagai bidang yang dikaji dalam konteks social dan budayanya.

b.      Serta dapat mengetahui makanan dan jajanan tradisional masyarakat Jawa yang beraneka ragam serta mempunyai nilai kehidupan yang sangat bermanfaat bagi manusia.

2.      Manfaat Praktis

a.       Bagi masyarakat, khususnya masyarakat Jawa dapat memahami istilah-istilah makanan dalam Masyarakat Blora.

b.      Bagi pengajar bahasa, dapat menambah pengetahuan tentang pemakaian bahasa Jawa dan menambah pengetahuan tentang budaya Jawa.

c.       Bagi pelajar, dapat menambah pengetahuan tentang bahasa Jawa dan kebudayaan atau tradisi masyarakat Jawa serta dapat menjadikan sumber rujukan untuk penelitian selanjutnya yang sejenis.


 

BAB III

LANDASAN TEORI

 

Konsep-konsep teoretis yang berkaitan dengan penelitian adalah landasan atau dasar yang relevan dengan pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Landasan teori digunakan sebagai kerangka pikir untuk mengkaji permasalahan dan bekal untuk menganalisis objek kajian.

2.1        Penelitian yang Relevan

              Penelitian yang sama tentang makanan yaitu pada jurnal ilmiah yang berjudul “Penggunaan Istilah Makanan dan Jajanan Tradisional Pada Masyarakat di Kabupaten Banyuwangi (Sebuah Kajian Etnolinguistik)” dari Arum Kusumaningtyas Universitas Jember yang membahas tentang penggunaan istilah makanan dan jajanan tradisional pada masyarakat di Kabupaten Banyuwangi ada yang berbentuk kata dan frasa yang semuanya mempunyai makna. Perbedaan dalam penelitian ini adalah dalam penelitian ini peneliti menambahkan pola pikir masyarakat Blora terhadap makanan atau jajanan tradisional yang ada di daerah Blora.

 

2.2        Pengertian tentang Istilah

Menurut Harimukti Kridalaksana (2001: 86) istilah adalah kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan konsep, proses, keadaan atau sifat yang khas dalam bidang tertentu.

Istilah mempunyai beberapa ciri-ciri sebagai unsur bahasa. Ciri-ciri istilah mempunyai dua aspek yaitu ungkapan istilah dan makna istilah.

a) Dari segi ungkapan

1) Istilah ini dapat berupa kata benda, kata kerja, atau kata sifat.

2) Bangun istilah dapat berupa kata tunggal, kata majemuk, kata bersambung, kata ulang, dan frasa.

b) Dari segi makna

Istilah itu secara gramatikal bebas konteks artinya makna tidak tergantung pada konteks kalimat tetapi dipandang dari bidang kehidupan yang memakainya (Sri Soekesi Adiwimarta dkk, 1994: 32)

 

2.3        Pengertian tentang Makna

Dalam Kamus Linguistik (2001: 132) dijelaskan bahwa makna (meaning, linguistik meaning, sense) adalah maksud pembicara, pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia, hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di luar bahasa atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjuknya, cara menggunakan lambang-lambang.

Grice menyatakan bahwa makna adalah hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati oleh para pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti (dalam Aminudin, 2001: 53). Lyons menyebutkan bahwa mengkaji atau memberi makna suatu kata ialah memahami kajian kata tersebut yang berkenaan dengan hubungan-hubungan makna yang membuat kata tersebut berbeda dari kata-kata lain (dalam Fatimah Djajasudarma, 1999: 5).

Makna dalam hal ini menyangkut makna leksikal, gramatikal, dan makna kultural dalam masyarakat tertentu. Makna leksikal (lexical meaning, semantic meaning: bahasa Inggris) adalah makna unsur- unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa dan lain-lain; makna leksikal ini dipunyai unsur-unsur bahasa lepas dari penggunaannya atau konteksnya (Harimukti Kridalaksana, 2001: 133) . Makna leksikal ini memiliki unsur-unsur bahasa tersendiri terlepas dari konteks (Fatimah Djajasudarma, 1999: 13). Pengertian makna leksikal dalam penelitian ini tidak terbatas pada tataran kata tetapi juga dalam tataran frasa, klausa, maupun kalimat. Makna leksikal merupakan makna kata yang berdiri sendiri tanpa adanya imbuhan atau turunan. Makna gramatikal (grammatical meaning, functional meaning, structural meaning, internal meaning) adalah hubungan antara unsur-unsur bahasa dalam satuan-satuan yang lebih besar misal hubungan antara kata dengan kata lain dalam frase atau klausa (Harimukti Kridalaksana, 2001: 132).

 

2.4        Pengertian tentang Bentuk

Dalam pembentukan istilah dalam bahasa dapat dilakukan dengan dua bentuk yaitu bentuk kata berupa bentuk dasar dan bentuk terikat yang secara morfologis digolongkan dalam bentuk monomorfemis dan polimorfemis.

1. Monomorfemis

Proses morfologis adalah cara pembentukan kata-kata dengan menghubungkan morfem yang satu dengan morfem yang lain. Dengan kata lain gabungan morfem-morfem akan membentuk kata (Samsuri, 1987: 190)

Kata bermorfem satu disebut kata monomorfemis dengan ciri-ciri dapat berdiri sendiri, mempunyai makna dan berkategori jelas. Sedangkan kata bermorfem lebih dari satu disebut polimorfemis. Menurut Harimukti Kridalaksana monomorfemis (monomorphemic) terjadi dari satu morfem, morfem (morphemic) merupakan bahasa terkecil yang maknanya secara relatif stabil dan yang tidak dibagi atas bagian yang lebih kecil misalnya (ter-) (di-). Monomorfemis adalah terdiri atas satu morfem saja (Verhaar, 2004: 97).

2. Polimorfemis

Polimorfemis adalah terdiri atas lebih dari satu morfem (Verhaar, 2004: 97). Polimorfemis dibentuk melalui beberapa proses morfemis yaitu afiksasi (imbuhan), reduplikasi (pengulangan), dan pemajemukan/komposisi.

a.       Afiksasi (imbuhan)

Afiksasi adalah proses perangkaian afiks pada bentuk dasar. (Wedhawati, 2006: 40). Afiks adalah suatu satuan gramatik terikat yang di dalam suku kata merupakan unsur yang bukan kata dan bukan pokok kata yang memiliki kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk kata atau pokok kata yang baru. (Ramlan,1987: 55). Setiap afiks tentu berupa satuan terikat, artinya dalam tuturan biasa tidak dapat berdiri sendiri dan secara gramatik selalu melekat pada satuan lain. Afiks atau lebih dikenal dengan imbuhan ada empat macam. Pembedaan itu didasarkan pada macam afiks yang dilekatkan pada bentuk dasar.

b.      Reduplikasi (pengulangan)

Reduplikasi adalah proses morfemis yang mengulangi bentuk dasar atau sebagiannya dari bentuk dasar tersebut. (Verhaar, 2004: 152). Reduplikasi adalah pengulangan satuan gramatik, baik seluruhnya maupun sebagiannya, baik dengan variasi fonem maupun tidak. (Ramlan, 1987: 63). Sehingga dapat disimpulkan bahwa reduplikasi adalah pengulangan bentuk dasar atau sebagian bentuk dasar satuan gramatikal.

c. Pemajemukan/komposisi

Kata majemuk adalah gabungan morfem dasar yang seluruhnya berstatus sebagai kata yang mempunyai pola fonologis, gramatikal, dan semantik yang khusus menurut kaidah bahasa yang bersangkutan, pola khusus tersebut membedakannya dari gabungan morfem dasar yang bukan kata majemuk. (Harimukti Kridalaksana, 2001: 99). Komposisi atau pemajemukan adalah proses morfemis yang menggabungkan dua morfem dasar (pradasar) menjadi satu kata, namanya kata majemuk. (Verhaar, 2004: 154)

3. Frasa

Frasa adalah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa. (Ramlan, 2001: 138). Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif; gabungan itu dapat rapat dapat renggang. (Kridalaksana, 2001: 59).

2.5        Etnolinguistik

a.      Pendekatan Etnolinguistik

Penelitian mengenai makna istilah-istilah makanan dan jajanan tradisonal Kabupaten Blora menggunakan kajian Etnolinguistik. Etnolinguistik adalah cabang dari linguistik yang menyelidiki tentang hubungan antara bahasa dan masyarakat yang belum mengenal tulisan; cabang linguistik antropologi yang menyelidiki hubungan bahasa dan sikap bahasawan terhadap bahasa; salah satu aspek etnolinguistik yang sangat menonjol adalah masalah relativitas bahasa (Kridalaksana, 1982: 42).

Istilah etnolinguistik berasal dari perpaduan antara etnologi dengan linguistik, sehingga kajian etnolinguistik sangat penting untuk mengetahui hubungan kebudayaan dengan masalah bahasa, serta bagaimana kebudayaan yang terbentuk tersebut secara terus-menerus mengalami perubahan. Kelahiran etnolinguistik sangat erat berkaitan dengan hipotesis Sapir-Whorf. Hipotesis Sapir-Whorf disebut dengan relativisme bahasa (language relativism) dari pikiran Boas (Sampson dalam laporan penelitian D.Edi Subroto.dkk, 2003: 6). Hipotesis tersebut menyatakan bahwa bahasa manusia membentuk atau mempengaruhi persepsi manusia akan realitas lingkungannya atau bahasa manusia mempengaruhi lingkungan dalam memproses dan membuat kategori-kategori realitas di sekitarnya (Sampson dalam laporan penelitian D.Edi Subroto.dkk, 2003: 6).

Penelitian etnolinguistik ini pada awal mulanya dipelopori oleh antropolog yang berasal dari Inggris, yaitu Bronislaw Malinowski. Peneliti lapangan tersebut tinggal bersama dengan orang-orang yang menetap di kawasan Pasifik atau yang dikenal dengan orang Trobiand selama kurang lebih dua tahun. Dia sengaja menetap dengan kalangan Trobiand dan juga belajar bahasa mereka agar dapat berkomunikasi dengan mereka dan mengetahui budaya yang berlaku dan dapat memahami cara pandang hidup mereka dengan lebih baik. Tradisi penelitian semacam ini akhinya berkembang dan seterusnya menjadi bagian terpenting dalam ilmu antropologi. Sehingga apabila seorang ingin menjadi seorang antropolog profesional maka mereka dituntut untuk dapat memahami dan menguasai bahasa tempat mereka melakukan penelitian.

Etnolinguistik adalah cabang dari ilmu linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dengan sikap dan pandangan masyarakat (Shri Ahimsa Putra, 1997: 4). Istilah etnolinguistik berasal dari kata ‘etnologi’ dan ‘linguistik’, yang lahir karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh para ahli etnologi (kini : antropologi budaya) dengan pendekatan linguistik dalam studi semacam ini sebenarnya terjadi timbal balik yang menguntungkan antara disiplin etnologi, yakni (a) kajian linguistik yang memberikan sumbangan bagi etnologi dan (b) kajian etnologi yang memberikan sumbangan bagi linguistik (Shri Ahimsa Putra, 1997: 3).

Ketika tradisi penelitian mulai berkembang dan semakin pesat, minat yang ditumbuhkan oleh Boas untuk meneliti dengan seksama sejarah suku-suku bangsa dan aneka ragam jenis bahasa mereka, kemudian oleh beberapa orang muridnya termasuk di dalamnya Edward Sapir mengembangkan tradisi penelitian tersebut. Sebagai salah satu perintis berdiriya studi Etnolinguistik dalam Antropologi, Sapir mulai membuka persoalan baru dalam studi etnolinguistik yaitu mengenai hubungan antara bahasa dan kebudayaan. Pandangan tersebut mulai dikembangkan oleh salah satu muridnya yaitu Benjamin Lee Whorf (Shri Ahimsa Putra, 1997: 1-2). Sapir sendiri adalah seorang ahli dalam bidang antropologi yang menaruh minat besar pada masalah-masalah kebudayaan.

Dari sinilah awal mula studi perbandingan bahasa melahirkan barbagai macam pandangan Sapir tentang hubungan antara bahasa dengan kebudayaan.

Pandangan-pandangan inilah yang terutama mengenai bahasa dan cara pandang manusia, yang dikembangan lebih lanjut oleh muridnya yang berpendapat bahwa berbagai macam peristiwa sebenarnya sangatlah dipengaruhi oleh bahasa yang digunakan.

Oleh karena itu, walaupun istilah etnolinguistik dapat dikatakan tidak lagi populer, namun tetap dapat digunakan, dan masih lebih menguntungkan menggunakan istilah etnolinguistik dari pada istilah baru yang sebenarnya sudah lebih spesifik (Shri Ahimsa Putra, 1997: 2-3).

b.      Pengertian Etnolinguistik

Harimurti Kridalaksana (1982: 42) mengemukakan bahwa etnolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan bidang ini juga disebut linguistik antropologi dan cabang ilmu linguistik antropologi yang menyelidiki hubungan bahasa dan sikap bahasawan terhadap bahasa, salah satu aspek etnolinguistik yang sangat menonjol ialah masalah relatifitas bahasa.

Etnolinguistik (etnolinguistic) adalah ilmu yang meneliti seluk beluk hubungan aneka pemakaian bahasa dengan pola kebudayaan (Sudaryanto, 1996:7). Sedangkan menurut pendapat dari Shri Ahimsa Putra (1997: 3) istilah ‘etnolinguistik’ berasal dari kata ‘etnologi’ dan ‘linguistik’, yan lahir karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh para ahli etnologi (kini: antropologi budaya) dengan pendekatan linguistik.

Sedangkan relatifitas bahasa menurut Harimurti Kridalaksana (1982: 145) adalah salah satu pandangan bahwa bahasa seseorang menentukan pandangan dunianya melalui kategori gramatikal dan klarifikasi semantik yang ada dalam bahasa itu dan yang dikreasi bersama kebudayaannya.

Dalam hal semacam ini sebenarnya ada suatu timbal-balik antara disiplin linguistik dengan disiplin etnologi yang sama-sama saling memberi sumbangan bagi keduanya.dengan adanya pengabungan pendekaan, maka kajian etnolinguistik dapat dibagi menjadi dua macam yaitu kajian linguistik yang memberikan sumbangan bagi etnologi dan sebaliknya kajian etnologi member sumbangan terhadap linguistik.

 

 


 

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode Penelitian merupakan cara, alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam melakukan penelitian. Metode adalah cara untuk mengamati atau menganalisis suatu fenomena, sedangkan metode penelitian mencakup kesatuan dan serangkaian proses penentuan kerangka pikiran, perumusan masalah, penentuan sampel data, teknik pengumpulan data, dan analisis data (Edi Subroto, 1992:31)

Metode penelitian ini akan membicarakan mengenai 1) sifat penelitian; 2). Lokasi peneliyian; 3). Data dan sumber data; 4) alat penelitian’ 5). Metode pengumpulan data; 6). Metode analisis data; 7). Metode penyajian hasil analisis data.

3.1  Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriptif yang dilakukan semata-mata berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena empiris hidup pada penutur-penuturnya. Sehingga menghasilkan catatan berupa pemberian bahasa dan sifatnya seperti potret (Sudaryanto, 1993: 62).

Deskriptif adalah metode yang bertujuan membuat deskripsi, maksudnya membuat gambaran lukisan secara sistematiis, factual, dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti (Fatimah Djajasudarma, 1993:88). Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan social yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan masyarakat tersebut melalui bahasanya serta peristilahan (Fatimah Djajasudarma, 1993:10). Dalam Penelitian ini data yang terkumpul berbentuk kata-kata, analisis dan hasil laporan analisis menggunakan kata-kata pula.

 

3.2  Lokasi penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat atau objek penelitian. Lokasi penelitian ini ada di daerah Kabupaten Blora. Peneliti mengambil lokasi ini sebagai objek penelitian, karena merupakan tempat tinggal asli peneliti, sehingga dalam menulis penelitian ini peneliti tidak perlu bingung-bingung pergi mencari ke sebuah tempat, sebab Peneliti sudah pernah membeli dan merasakan masakan khas dari Kabupaten Blora.

 

3.3  Data dan sumber data

Data adalah bahan penelitian (Sudaryanto, 1993:3). Data dalam penelitian ini berupa data lisan dan tulis. Data dalam penelitian ini berupa istilah-istilah makanan dan jajanan tradisional di Kabupaten Blora. Sumber data lisan berasal dari informan yang memang asli atau berasal dari Kabupaten Blora. Setidaknya ada 10 orang yang diwawancarai mengenai makanan dan jajanan khas sana. Untuk data tulis peneliti menggunakan internet sebagai referensi tambahan selain data lisan.

Pemahaman mengenai berbagai macam sumber data merupakan bagian yang sangat penting bagi peneliti, karena ketepatan memilih dan menentukan  jenis sumber data akan menentukan ketepatan dan kekayaan data atau in formasi yang diperoleh.

 

3.4        Alat penelitian

Alat penelitian meliputi alat utama dan alat bantu. Disebut alat utama karena merupakan alat paling dominan dalam penelitian yaitu peneliti sendiri, sedangkan alat bantu yaitu alat yang berguna untuk memperlancar penelitian seperti alat tulis, buku catatan, kamera, computer, dan alat-alat lain yang menunjang dalam menyelesaikan penelitian ini.

 

3.5        Metode pengumpulan data

Metode merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisis gejala yang ada (Harimurti, 1983:106). Sehubungan dengan jenis instrument dan jenis data yang dikumpulkan maka yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak. Metode simak yaitu dengan menyimak pembicaraan dengan mewawancarai informan yang sudah dipilih dan mengerti mengenai makanan dan jajanan tradisional khas Kabupaten Blora. Kemudian peneliti menggunakan teknik lanjutan yaitu teknik rekam dan teknik catat. Dalam hal ini peneliti merekam semua kata-kata yang muncul dari informan dan mencatat data yang telah direkam. Dari hasil wawancara tersebut, kemudian peneliti mencari data sebanyak-banyaknya. Lalu peneliti memilah dan memilih data yang dibutuhkan. Apabila data sudah terkumpul kemudian dianalisis dengan cara diklasifikasikan berdasarkan bentuk, makna dan penggunannya.)

 

3.6        Metode analisis data

Metode selanjutnya adalah metode deskriptif analisis, yaitu metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya (Aries, 2010:25). Dalam penelitian ini, metode tersebut dilakukan dengan mendeskripsikan istilah-istilah makanan dan jajanan tradisonal khas Blora. Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode padan ekstralingual. Hal ini dikarenakan, peneliti menghubungkan bahasa dengan hal yang di luar bahasa, yaitu budaya.

 

3.7        Metode penyajian hasil analisis data

Metode penyajian hasil analisis data menggunakan metode deskriptif, formal, dan informal. Metode deskriptif adalah metode yang semata-mata hanya berdasarkan fakta-fakta yang ada atau fenomena-fenomena secara empiris hidup pada penutur-penuturnya (Sudaryanto, 1993:63)

Metode informal, yaitu penyajian hasil analisis data yang menggunakan kata-kata biasa atau sederhana agar mudah dipahami. Analisis metode informal dalam penelitian ini agar mempermudah pemahaman terhadap setiap hasil penelitian. Metode formal yaitu metode penelitian data dengan menggunakan dokumen tentang data yang dipergunakan sebagai lampiran. Lampiran tersebut dapat berupa gambar-gambar, bagan, table, grafik, dan sebagainya. Dalam penelitian ini menggunakan lampiran gambar yaitu gambar dokumentasi foto.


 

BAB IV

HASIL ANALISIS DATA

Sehubungan dengan permasalahan yang ada pada penelitian ini, maka analisis data yang akan dibicarakan ada dua hal yaitu mengenai istilah-istilah makanan dan jajanan tradisional, yaitu bentk makna leksikal, makna kultural, dan pola pikir masyarakat terhadap makanan dan jajanan tradisional di Kabupaten Blora.

4.1        Bentuk Istilah-istilah Makanan dan Jajanan Tradisional Kabupaten Blora

4.1.1        Monomorfemis

Monomorfemis mencakup semua kata dasar bentuk tunggal dalam istilah-istilah makanan dan jajanan tradisonal di masyrakat Blora. Menurut Harimukti Kridalaksana monomorfemis terjadi dari satu morfem. Morfem  merupakan bahasa terkecil yang maknanya secara relative stabil dan tidak dibagi atas bagian yang lebih kecil misalnya (ter-) (di). Adapun dalam penelitian ini yang termasuk bentuk monomorfemis adalah sebagi berikut :

a.       Dumbeg {dumbəg}

Dumbeg berkategori nomina

Dumbeg merupakan salah satu kue yang berbahan dasar dari tepung terigu dan berbentuk kerucut.

b.      Manco {manco}

Manco berkategori nomina.

Manco merupakan salah satu makanan khas dari Blora yang berbahan dasar tepung ketan.

c.       Gandhos {ganḍos}

Gandhos berkategori nomina.

Gandhos adalah salah satu makanan yang berasal dari Todanan, yang berbahan dasar dari beras ketan.

d.      Lembarang {ləmbaraŋ}

Lembarang berkategori nomina.

Lembarang merupakan makanan khas Blora, yang terbuat dari nangka muda dan biasanya dicampur dengan ayam.

e.       Thathakriyak {ṭaṭariya?}

Thathakriyak berkategori nomina.

Thathakriyak berbahan dasar dari singkong, biasanya banyak dijual di Pasar Tradisional Todanan.

f.       Pasung {pasUŋ}

Pasung berkategori nomina.

Pasung merupakan salah satu jajanan tradisional di Blora yang biasanya disediakan saat ada hajat, seperti khitanan, atau selametan.

g.      Grontol {gronṭol}

Grontol berkategori nomina.

Grontol merupakan makanan khas Blora, yang bahan utamanya adalah Jagung.

h.      Gemblong {gəmbloŋ}

Gemblong berkategori nomina.

Gemblong merupakan jajanan tradisonal khas Blora yang berbahan dasar singkong.

 

4.1.2        Polimorfemis

Polimorfemis terdiri atas lebih dari satu morfem (Verhaar, 2004:97). Polimorfemis dibentuk melalui beberapa proses morfem yaitu afiksasi (imbuhan) dan pemajemukan /komponen.

a.    Untir-untir {untir-untir}

Untir-untir  merupakan bentuk polimorfemis berupa pengulangan keseluruhan atau reduplikasi utuh yang dibentuk dari bentuk dasar untir yang berarti “peluntir”. Makanan ini memang dibentuk dengan cara dipeluntir.

b.   Egg roll {egg roll}

 

     Egg “telur” + Roll “gulung” = Egg roll

Egg roll merupakan proses pemajemukan dari dua kata, kedua kata itu merupakan kata pokok, sehingga hadir makna baru yaitu egg roll, salah satu makanan khas Cepu yang berbahan dasar waluh atau ketela pohon.                        

c.       Soto klethuk {soto kləṭu?}

Soto “soto” + klethuk “suara yang muncul dari makanan keras saat dimakan”

Egg roll merupakan proses pemajemukan dari dua kata, kedua kata itu merupakan kata pokok, sehingga hadir makna baru yaitu Soto klethuk, salah satu makanan khas dari kota Blora yang menggunakan topping singkong.

 

4.1.3           Frase

Frase adalah satuan gramatikal yang terdiri dua atau lebih dari kata yang tidak berciri klausa dan yang pada umumnya menjadi pembentuk klausa (Djoko Kentjono, 1982:57)

a.   Oseng-oseng enthung {Oseŋ-oseŋ ənṭUŋ}

Oseng-oseng enthung berkategori nomina.

Oseng-oseng entung adalah salah satu kuliner ekstream Blora yang dibuat dengan cara “Oseng-oseng” dan berbahan dasar “enthung”. Lepet Jagung  dari merupakan frase endosentris yang koordinatif. Kesetaraan frase oseng-oseng enthung dapat dibuktikan oleh unsur-unsur unsur itu dihubungkan dengan kata dan atau atau.

b.   Lepet jagung {ləpət jagUŋ}

Lepet jagung adalah salah satu jajanan Blora dengan bahannya menggunakan “lepet” yang biasanya dibuat dengan ketan dan “jagung”. Lepet Jagung merupakan frase endosentris yang koordinatif. Kesetaraan frase lepet jagung dapat dibuktikan oleh unsure-unsur itu dihubungkan dengan kata dan atau atau. Frase lepet jagung termasuk golongan frase nomina lepet sebagai unsur pusat diikuti frase nomina jagung. Lepet N+ jagung N= FN

c.    Tahu lontong {tahu lontoŋ}

Tahu lontong merupakan salah satu makanan khas Kabupaten Blora yang berbahan dasar “Tahu” dan “Lontong”. Tahu lontong termasuk frase endosentris yang koordinatif., kesetaraan tahu lontong dapat dibuktikan oleh unsure-unsur itu dihubungkan dengan kata dan atau atau. frase tahu lontong merupakan golongan frase nomina tahu sebagai unsure pusat diikuti frase nomina lontong. Tahu N+Lontong N = FN 

 

 

4.2        Makna Istilah Makanan dan Jajanan Tradisional

               Dalam penelitian makanan dan jajanan tradisional di Kabupaten Blora, terdapat makna leksikal dan makna kultural. Makna leksikal merupakan makna dasar dari istilah tersebut, sedangkan makna kultiural yaitu makna yang dimiliki masyarakat yang berhubungan dengan kebudayaan.

4.2.1           Makna Leksikal

a.      Dumbeg

Makna leksikal dari dumbeg adalah merupakan makanan khas dari Blora. Dengan bahan utama tepung terigu dan air kapur sirih, lalu santan, gula pasir, garam direbus hingga mendidih, lalu angkat, biarkan beberapa menit. Campurkan tepung dengan air kapur sirih. Buat contong berbentuk kerucut dengan daun lontar. Isi dengan adonan, kemudian kukus hingga matang.

b.      Manco {manco}

Makna leksikal dari manco adalah Jajanan manco atau ada yang menyebutnya peli kipu adalah jajanan yang terbuat dari ketan yang diolah dengan proses digoreng.  Jajanan ini beredar dengan beberapa bentuk dan bahan, yaitu ada yang menggunakan Wijen sebagai kulitnya ada juga yang menggunakan ketan. Atau yang lebih unik lagi dengan memakai “Karuk “. Karuk yaitu nasi yang di keringkan (Karak) kemudian di goreng. Jajanan ini lebih nikmat kalau dimakan ketika hangat,

c.       Gandhos {ganḍos}

Makna leksikal dari gandhos adalah makanan yang dibuat dari tepung ketan lalu dicampurkan kelapa muda dengan tambahan  garam dan gula sesuai selera, setelah itu digoreng.

d.      Lembarang {ləmbaraŋ}

Makna leksikal dari lembarang adalah makanan khas dari Kabupaten Blora, tepatnya di Kecamatan Ngawen, yang dibuat dari nangka muda, dan ayam. Dimasak dengan menggunakan santan dicampur dengan bumbu rempah, seperti cabe, bawang merah, bawang putih, laos, dsbg.

e.       Thathakriyak {ṭaṭakriya?}

Makna leksikal dari thathakriyak adalah singkong diiris kecil-kecil lalu dikukus. Setelah dikukus dijemur pada matahari. Dan digoreng, setelah itu diberi garam atau gula sesuai selera.

f.       Pasung {pasUŋ}

Makna leksikal dari pasung adalah tepung beras dicampur dengan tape yang terbuat dari singkong, gula, dikukus, diwadahi daun pisang.

g.      Grontol {gronṭol}

Makna leksikal dari grontol adalah terbuat dari jagung digodhog dengan injet jika sudah matang di bersihakan hingga bersih, jika sudah bersih digodhog lagi sampai jagung tersebut mekar. Setelah itu ditaburi kelapa.

h.      Gemblong {gəmbloŋ}

Makna leksikal dari gemblong adalah terbuat dari singkong dikukus, jika sudah matang ditumbuk, lalu diberi garam sedikit. Lalu diberi kelapa.

i.        Untir-untir {untir-untir}

Makna leksikal dari untir-untir adalah makanan yang berbahan dasar dari tepung terigu, telur, garam, gula, setelah itu dibentuk dengan cara dipeluntir, seperti bentuk ular yang yang melingkar lalu digoreng.  

j.        Oseng-oseng enthung {Oseŋ-oseŋ ənṭUŋ}

Makna leksikal dari oseng-oseng entung adalah makanan khas Blora dengan berbahan dasar enthung atau kepompong jati yang dibiasaya dibuat oseng-oseng dengan bumbu cabe, bawang merah, bawang putih, tomat, daun salam.

k.      Lepet jagung {ləpət jagUŋ}

Makna leksikal dari lepet jagung adalah jagung dan beras ketan dikasih kelapa, dan garam lalu dibuntel didaun jagung, lalu dikukus.

l.        Tahu lontong {tahu lontoŋ}

Makna leksikal dari tahu lontong adalah makanan yang berbahan dasar tahu dan lontong, sambelnya menggunakan sambel kacang. Yang berbeda dari yang lainnya tahu lontong adalah setelah tahunya digoreng,

m.    Egg roll {egg roll}

Makna leksikal dari egg roll adalah jajanan khas dari Blora yang berbahan dasar waluh atau ketela yang dibentuk seperti tabung dan di panggang.

n.      Soto klethuk {soto kləṭu?}

Makna leksikal dari soto klethuk adalah salah satu makanan khas dari Blora yang berbahan bawang merah, bawang putih, serai, daun salam, pala, seledri, tauge pendek, soon, suwiran ayam, dan yang paling menarik adalah singkong dipotong kecil-kecil lalu digoreng dan ditaburkan pada soto.

 

4.2.2           Makna Kultural

a.       Gandhos {ganḍos}

Makna kultural dari gandhos menurut masyarakat Blora dinamakan demikian karena, dalam proses pembuatan gandhos tersebut pada saat digoreng makanan tersebut akan bermekaran. Bahasa di sana disebut mlendhos-mlendhos, sehingga dinamakan Gandhos. Makanan ini banyak ditemukan di Todanan.

b.      Thathakriyak {ṭaṭariya?}

Makna kultural menurut masyarakat Blora dinamakan thathakriyak karena saat orang makan thathakriyak, biasanya akan berbunyi kriyak-kriyak. Sehingga makanan ini dinamakan thathakriyak. Makanan ini paling banyak di daerah Todanan yang masih di Kabupaten Blora.

c.       Untir-untir {untir-untir}

Makna kultural dari untir-untir menurut masyarakat Blora adalah dinamakan untir-untir karena dalam pembuatannya dengan cara diuntir-untir, sehingga dinamakan untir-untir. Untir-untir itu sendiri dalambahasa Indonesia disebut peluntir. Makanan ini mudah sekali dibuat, sehingga di daerah Kabupaten Blora banyak dijual di toko-toko.

d.      Soto klethuk {soto kləṭu?}

Makna kultural dari Soto klethuk menurut masyarakat Blora adalah kenapa terdapat embel-embel klethuk karena di situ ada potongan singkong kecil-kecil dan dicampur di dalam Soto, saat dimakan berbunyi klethuk-klethuk  sehingga masyarakat sana menyebutnya Soto klethuk. Soto klethuk saat ini lebih banyak ditemui di Kota Bloranya sendiri. Untuk di daerah selain Blora cenderung tidak ada.

4.3        Pola Pikir Masyarakat Blora

               Pada umumnya masyarakat Blora tidak terlalu memikirkan tentang makanan khas daerah Blora. Makanan yang disebutkan cenderung umum di beberapa Kabupaten dan Kota. Walaupun beberapa masyarakat di sana tidak memperdulikan makanan khas di sana tetapi ada beberapa masyarakat Blora yang mengetahui makanan khas Kabupaten Blora, 

               Di Kabupaten Blora makanan setiap daerah berbeda-beda, itu bergantung dengan sumber daya yang tersedia. Semisal di daerah Blora dan Cepu, banyak yang jual enthung (kepompong jati) karena di daerah sana banyak sekali hutan jati, apalagi enthung di sana sangat mahal, tak pelak banyak orang yang berasal dari luar kota yang berdatangan ke Blora untuk membeli enthung karena enthung hanya ada pada musim penghujan saja. Lalu di daerah seperti Randublatung, Ngawen, Todanan, akan banyak ditemui makanan yang berasal dari umbi-umbian dan beras, karena di sana banyak sekali lahan pertanian.

               Pola pikir masyarakat Blora selalu dikaitkan dengan alam. Setiap makanan khasnya selalu dibuat dengan memanfaatkan kekayaan alam yang berada di Kabupaten Blora, seperti contoh oseng-oseng enthung, egg roll waluh, dan berbagai makanan yang dibuat dari singkong. Dari kondisi geografis masyarakat blora, masyarakatnya yang bekerja sebagai petani cukup banyak sehingga sudah tentu makanan yang dibuat tidak jauh dari apa yang ditanam.

               Untuk jaman sekarang karena kecanggihan teknologi dan banyaknya media sosial, seperti twitter, facebook, instragram, dan lain sebagainya, banyak anak muda sekarang yang mengenal dan peduli tentang makanan khas Blora, mereka biasanya mengupload foto makanan dan dipamerkan di media social. Namun sayang, hanya makanan yang terkenal saja yang mereka ketahui di Kota Blora, contohnya soto klethuk, sate ayam blora, dan tahu lontong. Untuk makanan yang biasanya disebut makanan desa khas daerahnya , rata-rata anak muda tidak ada yang tahu namanya. Kebanyakan orang yang lebih tua yang mengetahuinya. Sehingga di sini anak-anak perlu sekali diperkenalkan makanan khas daerahnya sendiri.

 

 

 

BAB V

PENUTUP

5.1  Simpulan

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa penggunaan istilah makanan dan jajanan tradisional di Kabupaten Blora ada yang berbentuk kata dan frase. Bentuk monomorfemis ada 8 makanan yaitu Dumbeg, Manco, Gandhos, Lembarang, Thathakriyak, Pasung, Grontol, dan Gemblong. Untuk bentuk polimorfemis hanya ada 3 yaitu untir-untir, egg roll, dan soto klethuk. Dan untuk frase ada 3 makanan yaitu, Oseng-oseng enthung, Lepet jagung, dan Tahu lontong.

Makanan dan jajanan tradisional Blora ternyata ada juga yang mengandung makna kultural atau makna budaya yang dibuat oleh masyarakat di sana di antaranya adalah  Gandhos, Thathakriyak, Untir-untir, dan Soto klethuk.

Pola pikir masyarakat Blora selalu dikaitkan dengan alam. Setiap makanan khasnya selalu dibuat dengan memanfaatkan kekayaan alam yang berada di Kabupaten Blora.

 

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

Aminudin. 2001. Semantik : Pengantar Studi tentang Makna. Malang : CV Sinar Baru.

Edi Subroto, D. 1992. Pengantar Metode Penelitian Struktural. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

_________. 2003. Laporan Penelitian : Kajian Etnolinguistik terhadap Paribasan, Bebasan, Saloka, Pepindhan dan Sanepa. Surakarta : Sebelas Maret University Press.

Fatimah Djajasudarma. 1999. Semantik II : Pemahaman Ilmu Makna. Bandung : Refika Aditama.

_________. 2006. Metoda Linguistik Ancangan Metode dan Kajian. Bandung : Refika Aditama.

Harimurti Kridalaksana. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

J. W. M. Verhaar. 2004. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta : UGM Press.

Ramlan. 1987. Ilmu Bahasa Indonesia: Morfologi suatu tinjauan deskriptif. Yogyakarta: CV.   Karyono.

_________. 1990. Ilmu Bahasa Indonesia Sintaksis. Yogyakarta: CV. Karyono.

Shri Ahimsa Putra.1997. Etnolinguistik : Beberapa Bentuk Kajian. Makalah Temu Ilmah dan Sastra Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudataan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Balai Penelitian Bahasa.

Samsuri. 1987. Analisis bahasa memahami bahasa secara ilmiah. Erlangga: Jakarta.

Sri Soekesi Adiwimarta dkk. 1994. Tata Istilah Indonesia. Jakarta : Depdikbud.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana.

_______. 1996. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta : Duta Wacana.

Posting Komentar untuk "PENGGUNAAN ISTILAH MAKANAN DAN JAJANAN TRADISIONAL DI KABUPATEN BLORA (KAJIAN ETNOLINGUISTIK)"